Nyanyian Batu Naoma

Fajar di Nuhae tidak pernah tiba dengan tergesa. Kabut turun perlahan dari punggung Pegunungan Ilua, menyusup ke sela-sela pohon ampupu beserta aroma sisa abu dupa semalam. Penduduk setempat sangat menghormati batu setinggi bahu yang menyimpan ingatan leluhur. Mereka menyebutnya Naoma. Dengan merawat alam, orang-orang percaya Naoma akan menggugah petunjuk masa depan. Bagi mereka, merusak alam seperti merusak tubuh sendiri dan melindungi alam berarti melindungi nyawa sendiri.

Yamae tinggal bersama neneknya, Ama Ru, di rumah gewang yang dindingnya terbuat dari pelepah, beratap daun tua, dan lantainya berderit jika diinjak. Ia terbiasa bangun melalui bunyi irisan kulit kayu di dapur atau denting alat tenun di ruang tengah. Neneknya adalah penenun paling tua yang bisa membuat motif tenunan sesuai kata semesta. Yamae sering membantu mencari pewarna alami ke hutan, meski pikirannya sering teralihkan ke Gunung Fa’anom, tempat Naoma tertua berada. Sejak kecil ia bisa mendengar bunyi dari batu, yang terasa seakan memanggil dirinya untuk datang.

Hari itu terasa sedikit berbeda. Ama Ru menenun lebih pelan dari biasanya, sesekali berhenti, lalu beralih memandangi Yamae. “Jangan pergi ke Naoma dulu.”

Yamae mengerutkan alis. “Kenapa, Nek?”

Ama Ru tetap menenun. “Batu itu mulai gelisah. Telingamu belum cukup kuat untuk mendengarnya.”

“Kalau aku janji akan pulang lebih cepat?” pinta Yamae, berharap neneknya berubah pikiran.

Ama Ru akhirnya menoleh, matanya tajam bak duri semalu. “Kalau Halatu pada Naoma makin besar dan kau tak bisa pulang, apa janji itu masih bisa kau tepati?”

Yamae tidak menjawab. Ia menunduk memainkan serat kering di tangannya. Ama Ru kembali menenun, tapi dari caranya menarik benang, Yamae tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati neneknya.

Keesokan paginya, Yamae berencana menyelinap keluar sewaktu mentari belum sempat menyisir wajah hutan. Di punggungnya tergantung kantong anyaman berisi pisau kecil, tali, dan wadah kosong. Sedangkan, Ama Ru tengah merebus daun tarum di dapur.

“Aku ke hutan sebentar, cari bahan,” pamit Yamae, berusaha menjaga nadanya tetap biasa saja.

“Jangan sampai siang,” ucap Ama Ru pelan, tapi cukup untuk membuat langkah cucunya ragu sejenak.

Begitu keluar dari halaman rumah, Ia melangkah lebih cepat menyusuri jalan setapak dengan pepohonan yang tumbuh miring. Di balik itu, seseorang berdiri menyandar menunggu kedatangan Yamae. Rambutnya dikepang dua, celananya digulung hingga lutut, dan tangannya sibuk melempar beberapa daun ke udara, lalu memperhatikan caranya jatuh. “Lihat, daunnya jatuh ke timur,” cetus gadis itu, Lira, temannya dari kecil.

“Terus kenapa?” tanya Yamae.

“Kalau tetap stabil, suara dari lereng bisa naik ke atas dan memantul. Gema akan mudah terdengar.” Ia menyipitkan mata ke langit, lalu menambahkan, “Tapi itu berarti kabut juga akan turun cepat. Jalur kita jadi rawan.”

Yamae mengerti. Saat mereka akan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba suara ranting patah terdengar dari arah semak. Yamae sontak berhenti, tangan kirinya menahan Lira agar tak melangkah. Keduanya saling menatap sebelum memutar pandang ke sumber suara.

“Itu bukan suara angin,” bisik Lira.

Yamae mengambil batu seukuran tangannya di tanah. Lira refleks meraih pisau yang biasa diselipkan di pinggangnya. Semak itu bergoyang lagi. Lalu terdengar suara berat yang dibuat cempreng dan gemetar. “Ampun... saya cuma numpang lewat, jangan dibunuh...” Lira mundur satu langkah, Yamae nyaris melempar batu itu sebelum menyadari suaranya terdengar familier.

“Tuke!” seru mereka bersamaan. Muncul sosok tinggi berkulit gelap dan rambut acak-acakan, tangan terangkat tinggi serupa penjahat yang tertangkap basah. Sedetik kemudian Ia terkekeh. “Eh, kalian mau ke Naoma, kan? Tadi aku lihat tiga mobil terparkir di dekat jembatan batu, sepertinya orang kota. Mereka bawa alat-alat besar. Kita harus cari jalan lain agar tidak ketahuan,” jelas Tuke.

“Kenapa mereka kemari?” Seketika Yamae teringat kata neneknya perihal kegelisahan Naoma.

“Entah,” jawab Tuke enteng. Ia menyibakkan semak tinggi yang tampak tidak menyimpan jalan. “Belum ada yang pernah lewat sini. Jalurnya tembus ke sisi barat Fa’anom. Kita bisa naik lewat batu-batu lapis, terus tinggal nyusul Banu, dia udah di atas.”

“Ayo! Sebelum kabut makin turun,” ajak Lira.

Ketiganya mulai berjalan mengekori Tuke yang tampak hafal setiap tikungan dan akar yang membuat tergelincir, melintang seakan mencengkeram tanah. Di tikungan terakhir, pemilik surai ikal itu memberi isyarat agar menunduk. Begitu melewatinya, hamparan lereng terbuka dengan satu batu besar berdiri tegak di tengah. Naoma tertua. Dikelilingi lumut tebal dan guratan kuno yang selama ini dipercaya sebagai tulisan leluhur. Di dekatnya, berdiri seorang pemuda bertubuh agak berisi memegang dawainya. “Kalian terlambat,” ujar Banu. Kemudian ia menunjukkan dawainya. “Aku sudah menyiapkan ini dari lama, yakin banget kali ini pasti berhasil,” ujarnya penuh ambisi.

Di Nuhae, alat musik hanya dibuat oleh tetua dan digunakan untuk upacara sakral. Dawai dari daun gewang muda yang dikeringkan diyakini bisa menangkap gema. Sejak kecil, Banu senang merakit barang, ia merancang alat ini dengan harapan bisa memainkan nada Naoma.

Sementara itu Yamae mematung. Netra bak biji kelengkengnya sudah tertambat pada Naoma. Lira yang menyadari, menepuk pundaknya. “Sudah siap, Mae?” Yang ditanya mengangguk, lalu duduk bersila di dekat Naoma. Lira pun menyusulnya dan Tuke tegap berjaga.

Yamae memejamkan mata dan menyentuh permukaan batu itu. Ia merapal mantra dalam bahasa Hilina yang diajarkan turun-temurun oleh Neneknya. “Lanu mefa ata nofa, halatu tuma rae. Bukalah jalan bagi gema leluhur, dengarkan yang datang dari bumi.”

Kabut tipis bergulung mengelilingi mereka. Banu menggesek lembut dawainya, mengalun layaknya desir yang menyapu dedaunan kering. Getaran menyelundup lewat telapak kaki, menjalar ke dada, lalu terpantul di langit-langit kepala. Bunyi samar melesak ke telinga Yamae. “Aku ingat selagi akar masih menyentuh tulangku. Aku ingat air yang menyapaku melalui nyanyian. Aku tahu siapa yang datang dan apa yang mereka bawa.”

Tiba-tiba tanah di sekitarnya bergetar. Serangga berlarian dari sela-sela akar, lumut di kaki batu seakan berdenyut. Halatu membesar dan guratan di permukaan Naoma berpendar samar, cahaya merayap dari tubuhnya.

Yamae membuka mata perlahan. Di permukaan batu kini tampak baris baru. Lira yang pertama kali mengenalinya menunjuk. “Itu baru, kan? Aku belum pernah lihat sebelumnya.”

Banu menyipitkan mata, mencoba membaca. “Kayak ada tulisan... tapi bukan tulisan kita.”

“Hilina,” gumam Tuke sambil mendekat. “Cuma orang tertentu yang bisa mengerti artinya.”

Hilina tidak diajarkan di setiap rumah. Ia mengikat ingatan masa lalu dan masa depan lewat mereka yang dipercaya menjaga keseimbangan alam. Terukir pada Naoma sewaktu alam ingin menyampaikan pesan. Yamae menelusuri dengan jari. Seketika, matanya membelalak.

“Apa artinya?” tanya Lira, penasaran.

“Ada peringatan,” gumamnya. “Banjaran menangisi bagiannya. Tubuhnya terkoyak, tulangnya patah, dan darahnya dibawa roda dan gigi besi.”

Banu menatap Naoma lekat-lekat. “Roda dan gigi besi... itu yang dibawa orang-orang dari kota.”

“Mereka tidak boleh tahu tempat ini, kita harus segera bertindak,” desak Yamae kian tegas.

Setelah itu, hanya ada desir langkah yang terburu-buru. Mereka mengintip dari celah dedaunan dekat jembatan batu. Terlihat banyak pekerja berseragam cokelat mulai memainkan alat dan mesinnya. Sepanjang tepian hutan telah ditandai dengan pita-pita merah. Di baris depan berdiri seorang lelaki mengenakan sepatu yang terlalu mengilap untuk berjalan di jalan setapak. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Ia menunjuk-nunjuk ke arah belakang jembatan, tepat ke jalur menuju Naoma.

“Pita itu pasti untuk menandai jalur,” bisik Yamae.

Lira ikut cemas. “Mereka tahu arah ke Naoma?”

“Belum tentu. Tapi cepat atau lambat mereka akan menemukannya,” tegas Tuke, lalu melirik Banu. “Lebih baik kau kembali. Awasi dan jaga Naoma.”

“Serahkan saja padaku,” sahut Banu singkat. Ia mengencangkan sabuk kulitnya dan bergerak lebih dulu.

Semakin ketiganya mendekati desa Nuhae, hawa aneh menyergap. Pohon ampupu tampak layu, air sungai berwarna keruh, dan semua hewan bersembunyi.  Halaman rumah Ama Ru dipadati warga yang datang dengan cemas, bertanya-tanya apa yang terjadi. Saat melihat Yamae tiba bersama Lira dan Tuke, Ama Ru sontak menghampiri. “Dari mana saja kau?!”

“Aku dari Naoma,” jawab Yamae tegas.

Sebelum Neneknya sempat menyahut, Tuke ikut bicara, “Kami menemukan penambangan. Mereka mulai menandai jalur yang mengarah ke Fa’anom.”

Yamae mendekat. “Naoma memberiku pesan, Nek. Kita harus melindungi bumi ini.”

Warga yang mendengar mulai berkumpul. Ama Ru menghela napas panjang. “Jika mereka datang tanpa permisi, maka bumi akan bicara.” Ia menegakkan badan. “Siapkan alat tenun kalian. Kita akan melawan di jalur yang mereka tandai. Tunjukkan siapa kita sebenarnya.” Semua, termasuk Tuke dan Lira, beranjak menuju rumah masing-masing, mengambil alat untuk berperang.

Ama Ru mengambil sehelai kain yang ia selipkan di selendangnya, penuh motif yang belum pernah Yamae lihat. “Ada mantra di balik kain ini, nyanyikanlah untuk Naoma.” ucapnya sambil mengikat kain itu ke pergelangan tangan cucunya.

“Aku akan kembali, Nek. Kita pasti menang,” pamitnya, lalu menyusul Tuke dan Lira yang sudah siap membawa tombak dan selendang tenun.

Sementara, Ama Ru berdiri paling depan di barisan  yang bergerak membawa alat tempur menuju jalur tambang. Mengenakan selendang bermotif pusaran akar dan burung. Mereka duduk tepat di atas jalur yang telah diberi pita merah. Deru tenunan mulai menjamah, irama kayu dan benang beradu di atas tanah yang dilukai.

Para pekerja menghentikan aktivitasnya dan mencoba mendekat, “Maaf, kami harus lanjutkan pekerjaan. Ini keputusan dari atasan,” kata pria muda.

Ama Ru menatapnya tajam. “Atas izin siapa kalian boleh merusak tempat kami?”

Ia melirik ke belakang, mencari dukungan. Lelaki jangkung berwajah lonjong yang memimpin mereka melangkah maju. “Ini wilayah milik negara dan semua demi pembangunan. Apa yang mengganggu kalian sampai tidak ada yang boleh menyentuh tempat ini?”

Ama Ru melangkah satu tapak. “Kau membawa pembongkaran, Tuan, bukan pembangunan. Selama kami masih hidup, akan kami jaga alam ini sebaik-baiknya.”

Hanya melalui isyarat mata lelaki itu, para pekerja bergerak lebih kasar. Sebagian beradu mulut bersama warga, saling dorong tak terhindarkan. Sebagian lain mencoba menarik alat tenun. Selendang terseret-seret di tanah, alat pemintal nyaris terinjak, namun para penenun tetap duduk diam, tangannya tak berhenti bekerja.

Sementara itu, di tempat Naoma tertua. Banu duduk bersila memangku dawainya. Lira berdiri di sampingnya, mengenakan selendang tenun bermotif gelombang dan bunga paku. Tuke berjaga sambil membawa tombak kayu yang ujungnya dilapisi batu runcing.

Telapak tangan Yamae menyentuh permukaan Batu. Ia kini tidak memejamkan mata saat merapal mantra pemanggil Halatu. “Lanu mefa ata nofa, halatu tuma rae. Bukalah jalan bagi gema leluhur, dengarkan yang datang dari bumi.”

Naoma menyala. Dawai milik Banu menciptakan nada-nada dalam tangga yang tidak biasa. Lira diam menunggu tanda semesta. Yamae membuka kain yang diberikan Neneknya. Ia membacakan mantra sambil mengikuti alunan dawai. “Tanu mefa lia noa, ata tulu rae sana. Fana halatu mefa noma, lanu noma tuma. Suara akan menemukan jalan damai, leluhur menjaga tanah dari luka. Biarkan Halatu menyebar, Buka jalan bagi mereka yang mendengar.” Ia terus mengulang mantra itu.

Lira mulai menari bersama pusaran dedaunan yang terbentuk di sekelilingnya. Selendang tenunnya melambai serupa riak air. Naoma mulai berpendar lebih terang, sinarnya menembus gurat hingga ke ujung batu.

Di tambang, pemimpin proyek itu menghentikan langkahnya di tengah kekacauan. “Suara apa itu?!”

Pekerja lainnya saling pandang. Bunyi itu muncul dari utara, bagai gema yang menghantam dada. Sedang para penenun merasa lebih tenang selagi mendengarnya.

Ia mengepalkan tangan. “Tetap di sini. Aku akan lihat sendiri.” Langkahnya cepat.  Semak dan bebatuan menyingkir, seolah memberinya jalan ke Fa’anom. Dari situ, ia bisa melihat semuanya, pemain dawai, penari, dan gadis yang menyentuh batu bercahaya.

“Langkahkan kakimu satu kali lagi, dan batu ini akan mengusirmu tanpa ragu.” Terdengar suara Tuke dari sisi kirinya. Lelaki bertombak itu siap menebas, jika perlu.

Gema mulai menguat. Tangan yang sedari tadi menyentuh permukaan Naoma, bergerak sendiri, Halatu mengambil alih tubuh Yamae. Ia mencoba menahan, tapi jari-jarinya terangkat perlahan, mengarah lurus ke hadapan lelaki kota itu. Yang menjadi sasaran terdiam kaku. Apa yang ia saksikan terlalu nyata untuk dibantah.

Yamae menuturkan satu kalimat dari bisikan Naoma. “Halatu tuma noa sana, ata tulu rae. Mefa lanu noma, fana noma nofa lia. Gema mendengar luka yang datang, leluhur menjaga tanah. Suara bangkit dari Naoma, biarkan Ia membuka jalan bagi kedamaian.”

Ledakan cahaya memancar dari Naoma. Pusaran energi menerjang tepat ke arah pembawa gigi besi itu. Ia terhempas, jatuh berguling tak berdaya. Burung-burung terbang menjauh dari hutan mengikuti besarnya gema. Pohon-pohon tampak segar, sungai kembali jernih, angin menjadi tenang, seolah baru melepaskan beban.

Semua mesin untuk tambang mendadak mati dan bunyi mekanis meredam. Para penenun menoleh ke arah Fa’anom bersamaan dengan lega. Yamae, Tuke, Lira, dan Banu saling menukar pandang, tubuh mereka akhirnya bisa beristirahat dengan tenang sejak pagi datang. Halatu berangsur-angsur meredup. Alam yang mereka rawat telah menjaga mereka kembali. Semenjak itu, Naoma selalu tertanam sebagai identitas pada diri orang Nuhae.

 

Kunci Permainan:

  1. Lestarikan Bumi, Mratitis Sang Hyang Candra (Menyalakan Cahaya Harapan) untuk Indonesia Emas: Memaknai Kemerdekaan Demi Masa Depan Berkelanjutan.
  2. Aleta Baun 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis