Sang Perajut Asa

“Bintang-bintang mengawasi kita, loh.” Laki-laki pemakai kaos putih polos dan celana jeans pendek tersebut menghentikan langkahnya. Ia biarkan netra cokelat gelap miliknya melebur bersama pernak-pernik langit malam.

Nara yang berjalan beriringan pun ikut berhenti, kemudian mengikuti arah pandangnya. “Tapi mereka cuma ada di malam hari, kan?” timpal Nara.

Lantas, si pembuat pernyataan tadi menoleh ke kanan, menatap heran perempuan bersurai sebahu tersebut. “Kata siapa? Justru bintang waktu siang hari paling cantik. Mereka tetap percaya diri memamerkan keindahannya, meski tau ada matahari yang lebih terang. Mereka diam pada tempatnya, nggak mengeluh, dan kukuh bersinar sesuai porsi yang semesta berikan,” jelasnya.

Nara menghembuskan satu nafas berat. “Kasihan, rasa percaya dirinya harus tertutup sia-sia karena ada yang lebih baik darinya.”

“Nggak ada yang sia-sia, Nara. Masih ada malam, tempat yang lebih tepat dimana mereka bisa menunjukkan kelebihannya dengan hasil lebih memuaskan. Masa lo kalah sama bintang?” sindir laki-laki yang berasma belakang Agnibrata tersebut.

“Huh?” Dahi Nara berkerut bingung. Ia segera mengimbangi langkah laki-laki yang mendahuluinya itu, berharap mendapatkan jawaban. 

“Kurangi overthinking dan perbanyak percaya diri. Besok pengumuman, kan. Gue yakin lo lolos, nanti tiap ke sekolah gue bisa bonceng lo lagi,” ucap laki-laki itu diiringi senyum jahil di akhir kalimatnya. 

“Lolos pun tapi gue ambil jurusan bahasa.” Kelopak mata Nara perlahan layu, bahu yang tadinya menjadi sanggahnya pun turut menunduk lesu.

“Gue yakin lo juga bisa bersinar lebih terang di tempat yang lebih tepat.” Laki-laki itu mengelus lembut kepala Nara. “Udah masuk sana, nanti dimarahi Tante Ira kalo kelamaan di luar,” lanjutnya, setelah berhenti tepat di depan rumah berona abu tua tersebut.

***

16 Juli 2021

Radar wulan ke tujuh menjadi awal sejuta pertemuan. Menampung warna-warni rasa bersama nabastala yang kian membiru cerah. Selayaknya Nara Ayana, gadis remaja yang akan menyapa dunia putih abu-abu untuk pertama kalinya. Ia menggenggam banyak harap dengan kepercayaan diri sebagai jaminan.


“Loh, kapan Ayah pulang?” Refleks Nara usai mendapati laki-laki paruh baya berjas rapi duduk di kursi makan yang sudah lama tak ditempati.

“Kemarin malam pas kamu udah tidur,” jawab Ira yang sibuk mengupas buah pear. Nara mengangguk mengerti, lalu duduk dan ikut sarapan.

“Jadinya ambil jurusan apa?” Tanya Sanjaya tanpa melirik si lawan bicara. 

Nara meletakkan kembali satu suap yang hampir disantapnya. Ia mengulum bibir sebelum akhirnya yakin menjawab. “Bahasa.”

Kini, Sanjaya ganti meletakkan alat makannya. Ia menatap putri semata wayangnya dengan serius. “Ayah lebih setuju kamu jadi dokter, Nara. Jangan hanya karena diterima di sekolah favorit, kamu jadi seenaknya ambil jurusan yang nggak menjamin masa depanmu.”

“Ayah, waktu itu kan kita udah bahas.” Ira memandang Sanjaya dan Nara bergantian, mencoba menengahi keduanya.

“Lihat aja tetangga kita, si Raksa. Dia langsung diterima di MIPA lewat jalur prestasi. Harusnya kamu mencontoh yang kayak gitu!” Tak acuh pada perkataan istrinya, laki-laki yang berperan sebagai kepala keluarga itu lebih mempertegas ucapannya.

Sejenak, Nara menurunkan letak pandang, jari tangannya mengepal kuat, ia malas berlama-lama di ruang makan. "Aku berangkat sekarang, Bun. Ada Apel, takut nanti telat.”

“Naik apa? Nggak bareng Ayah?” tanya Sanjaya seakan tak terjadi apa pun. 

“Nggak papa, bareng Raksa aja,” putus Nara.


Nara sangat tau, lontaran opini kejam akan menghantam kepalanya lagi. Namun, ia tak ingin mengorbankan cita-citanya begitu saja. Pemberontakan yang ia lakukan pun sering membuatnya merasa mual, sebab harus meladeni kalimat negatif dari orang terdekatnya. Sarapan pagi itu, seakan berubah menjadi ruang sidang dimana Nara sebagai tersangka.

***

Sembari menguntai langkahnya pelan, pun melepas topi putih kelabu yang di alih fungsikan sebagai kipas. Gadis bersurai sebahu yang tadinya berjalan beriringan di samping Raksa itu lantas berkomentar ketika Apel pembukaan telah sepenuhnya bubar.


“Sa, kenapa sih setiap Apel awal tahun ajaran baru, selalu aja isi pidatonya nyuruh kita buat optimis? Memangnya nggak ada ucapan positif lain apa?” Bukanya,  dengan kedua mata kenari yang masih lurus mengarah ke depan.

Raksa berlagak memikirkan sesuatu. “Karena setiap awal harus kita sambut dengan baik. Mereka nggak butuh apa yang lalu, tapi apa yang sekarang.”

“Hufftt, udah dari pagi nggak mood, dapat ucapan klise tentang rasa optimis, dan sekarang gue harus ketemu sama orang baru? Kenapa kita nggak sekelas aja sih?!” gumam Nara sambil mencebik pelan.

“Kita beda jurusan. Lagi pula gue yakin lo pasti bisa menghadapi lingkungan baru tanpa gue. Nggak usah ingat yang dulu-dulu, buat diri lo senyamannya di kelas, dan kalo tremor lagi ambil dan buang nafas perlahan biar tenang, oke?” tutur Raksa dan di jawab anggukan oleh Nara. Selepas itu, keduanya menuju kelas masing-masing.


Barangkali kalian bertanya, salah satu trauma Nara yang mau tidak mau harus ia hadapi enam hari dalam satu minggu; sekolah. Di sela-sela ricuhnya kelas, atensi Nara kembali hanyut dalam perjalanan menyusuri rimba di kepala. Dimana eksistensi kalimat perintah serupa papan petunjuk di belantara yang menuntun pengembara menemukan jalannya. Kini, berlalu-lalang mengitari ia dengan satu opsi jalan keluar yang tak ramah. 


“Jangan terlalu banyak bicara!”

“Jangan bereaksi terlalu heboh!”

“Jangan terlalu banyak tertawa!”

“Jangan membuka topik yang tidak penting!”

“Jangan terlalu banyak mengatakan kata kasar!”

“Harus bersikap sopan, ramah, dan jadi orang baik!”

“Jangan lupa 3 kata ajaib. Tolong, maaf, dan terimakasih.”

“Jangan melakukan hal fatal yang tidak disukai lingkungan.”

“Pastikan bersikap normal seperti yang lain!”

“Ingat kejadian hari ini yang kiranya perlu ditambah ke peraturan!”


Larangan-larangan bersikap tersebut selayaknya sarapan bagi Nara. Jumlah yang tidak terbatas dan terus bercabang seiring waktu. Sembunyikan bisikan murni yang ingin menjadi diri sendiri, ia lebih memilih membohongi hatinya daripada mengulang masa lalu yang hampir merenggut nyawanya.

Ditambah keadaan bumi yang tak kunjung membaik. Apalagi selama pandemi kemarin, tak ada sosialisasi, interaksi, pula tak ada waktu untuk Nara memberanikan diri dan menyapa dunia luar. Tubuh dan mentalnya mulai menciut pada sesuatu berasma ‘manusia’. 

Sendiri Nara bertahan, ia menidurkan trauma yang berakar dari satu permasalahan; takut. Ia takut tidak mendapat teman karena sifatnya, ia takut di jauhi karena perilakunya, ia takut oleh pandangan negatif orang lain, dan ia takut kekhawatiran menghantuinya lagi. Sebab itu, ia berusaha menjadi orang baik sesuai standar lingkup yang ia tinggali. Terkecuali Raksa, tetangga sekaligus teman masa kecilnya itu mampu menjadi nyaman bagi Nara.

Usai bel masuk mengudara, kelas di mulai sesuai jadwal. Hampir di setiap mata pelajaran diisi dengan perkenalan atau sekedar membahas peta konsep. Sampai detik dimana bel istirahat menyuara, Nara tak berkutik untuk menyapa sekalipun. Ia hanya ingin cepat pulang, walau faktanya rumah tidak benar-benar menjadi tempat berpulang.

***

31 Oktober 2021

“Nyapu kamar, udah.”

“Nyapu ruang tengah sama dapur, udah.”

“Baju udah dijemur.”

“Sampah juga udah di buang.”

“Mandi, udah.”


Gadis yang masih membalut rambut dengan handuk berwarna hijau mint itu bertolak pinggang mengabsen kewajiban paginya agar tidak terlewat. Ia kemudian menyisir rambutnya yang setengah basah sambil mengamati barisan vertikal berupa jadwal minggu itu. Kemasi dua buku yang rencananya akan ia bawa, Nara mendahulukan sarapan sebelum kembali bertegur sapa dengan sastra.


“Udah rapi aja, mau ke mana kamu?” Tanya Sanjaya yang semula sibuk menonton tv.

“Mau ke rumah Raksa, ada tugas collab divisi dari Jurnalistik,” jawab Nara sejujurnya.

Lima sekon usai, tak ada komentar satu pun dari Sanjaya sampai ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa nggak bilang ikut ekstra? Mau jadi wartawan kamu? Mending belajar yang rajin, nanti kerjanya di perusahaan Ayah aja kalo nggak mau jadi dokter.”

“Itu lagi?” batin Nara. Sudah lama ia muak pada hal tersebut, pula semakin malas ia menolak apalagi berdebat yang tak pernah kunjung akhir. Bukankah kita tidak bisa menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon? “Iya, Yah,” final Nara, kemudian berpamitan. 


Tak memerlukan waktu lama, Nara sudah sampai di kediaman berarsitektur Jawa dengan berjalan kaki. Lantas, ia menyapa Cahyono -ayah raksa- yang sibuk mencuci mobil di halaman depan dan di sambut hangat Wanda -ibu raksa- yang sedang menata camilan di meja ruang tengah, seakan tau akan kedatangan Nara.


“Lo udah tau kan kalo deadline-nya dimajukan jadi besok, karena kemarin-kemarin kita terlalu nyantai buat mikirin tema majalah dan seluk-beluknya, jadi hari ini mau nggak mau harus selesai minimal delapan puluh persen,” jelas Raksa sembari meletakkan laptop dan majalah-majalah referensi di alas meja.

Nara yang sedari tadi menyimak sambil melahap snack milik tuan rumah, langsung menyalakan notebook-nya. “Tugas gue ngapain?”

“Hah? Lo lupa?” Kedua alis Raksa mengerut heran. Sedangkan Nara memutar bola matanya ke kanan atas, berusaha mengingat. “Divisi sastra bikin cerpen, Ra,” Lanjutnya. 

“Temanya?” Tanya Nara lagi. 

“Astaga, lupa juga?” heran Raksa diiringi nada pasrah. “Ekonomi kreatif,” balasnya.

Raksa yang semula akan mengerjakan bagiannya, berubah niat setelah merasa aneh dengan sikap Nara. “Kenapa? Kok lesu gitu.”

“Biasa, Ayah lagi-lagi bahas masalah masa depan gue,” ungkap Nara tanpa menatap sang empunya. Ia lebih memilih segera mengerjakan tugasnya.

Sejeda, Raksa berusaha memilah kata yang tepat di suasana tersebut. “if you want, just do it. Lo harus bisa buktiin sama Om Jaya seberapa indah tulisanmu. Sebagai permulaan, tunjukin cerpen buatanmu kalo majalahnya jadi nanti,” saran dalam tuturnya.

Nara melirik empunya sekejap. “Not a bad idea.”


Sang Baskara berotasi melewati tengah hari, hamparan biru laut menghiasi langit perlahan mulai menjingga . Nara masih saja mengabsen jajaran alfabet yang di polesnya, ia tak ingin ada kesalahan dalam cerpen karangannya. Sedangkan, Raksa tengah sibuk mengedit bagian tugasnya dengan seribu imaji. Ia segera mengecek ponsel saat chat dari divisi terpampang pada lockscreen-nya.


“Nar.. udah dapet berapa?” tanya Raksa setelah meletakkan kembali ponselnya.

“Tujuh puluh persen ada kayaknya,” jawab Nara sembari mengira-ngira. 

“Nar, coba buka group chat. Deadline-nya nggak jadi dimajukan,” ungkap Raksa yang langsung menimbulkan banyak tanya pada rungunya.

Selepas menemukan letak ponselnya, Nara cepat-cepat memastikan bahwa Raksa hanya bercanda. Tapi nahas, netra Nara melotot tak percaya saat mengetahui perkataan Raksa adalah sebuah kebenaran. “Sialan! Padahal gue udah mati-matian ngerjainnya.”

Raksa menghela nafas gusar. “Nggak papa, lumayan cepat selesai.”

“Mending gue ngelanjutin nonton drakor sama ngewota kalo tau bakal gini,” sesal Nara kemudian mencebik pelan.

Ujung bibir Raksa spontan melengkung manis melihat tingkah Nara. “Hidup itu kayak air. Alurnya mengalir tanpa kita tau dimana dan kapan ia berhenti.”


Tepat sebagaimana angan-angan paling gila yang justru terjadi dalam sebuah rekam nyata, sebab sebait frasa milik Raksa yang berputar pada kepala Nara. Ia menceletuk, “Kalo bokap gue tiba-tiba ngebolehin gue mendalami sastra, kayaknya nggak bakal kaget, deh.”

“Wah, sepertinya terdengar sedikit memaksa, ya,” canda Raksa.

“Kata lo tadi alur hidup nggak ada yang tau!” timpal Nara yang mulai tersulut emosi.

Raksa memandang canggung empunya. “Be-benar sih, tapi tetap berpikir realistis juga. Termakan ekspektasi sendiri itu sakit.”

Nara tak menjawab sepatah kata pun, ia kagum pada Raksa setiap kali mereka membicarakan perihal hidup. Lalu di ujung yang berbeda, Nara selalu menjadi pendengar setia. “Hidup itu di buat santai aja, tetap semangat dan optimis tanpa menyesalkan realita. Biarkan yang terjadi di tempat itu, tetap tinggal pada tempatnya,” tambah Raksa. 

Kesekian kali, sesabit kurva terbit pada bibir berona peach milik Nara. “Ya...” Ia menjeda, menelisik lebih tajam pada pahatan rupa laki-laki pemilik senyum paling indah yang selalu menggenggam tangannya agar memaafkan marah dan berdua menemukan bahagia. “Past is past, and present is present.”

Nara mengangguk di depan layar notebook-nya yang mampu memutar ulang perkataan Raksa tadi. Lamat-lamat ia menyusuri rimba di kepala yang berakhir menyetujui opini sahabatnya. Ia percaya, tak masalah bila belum selesai, tak masalah bila orang lain meragukan bakatmu, tak masalah bila semesta sedang tak ramah padamu. Karena semua berputar pada poros dan porsinya masing-masing, termasuk Nara. Sungguh, perlahan saja. 

Terbangkan segala kegelisahan dan masalahmu pada dunia. Buat dan temukan ritme dalam jati dirimu. Cukup, sudah cukup atas banyaknya kesedihan. Jangan biarkan hidup tetap berjalan saat diri ini diam di tempat. Berbuatlah sesuatu entah seberapa kecil. Karna di masa depan semua itu akan menjadi bukti bahwa kita telah melewatinya, dan bagaimana Nara menghabiskan akhir tahun dimana bumi pun lekas membaik adalah sesederhana frasa yang berbunyi, “Jangan lupa kembali berjuang dan merajut lagi hari-hari yang akan datang.”


Kunci permainan: love yourself (2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis