Kesusastraan Bumiputera

 “Sudah berantakan negara ini, Eropa semakin semena-mena! Mereka menciptakan hukum, mereka pula yang memainkannya. Kita telah dibutakan oleh pengetahuan dan peradaban yang mereka sebut modern. Sehingga membuat kita lupa siapa jati diri kita yang sebenarnya. Bahkan, pejabat Bumiputera pun bertindak sewenang-wenangnya kepada anak bangsanya sendiri dan malah mempertahankan kewibawaan pemerintah kolonial. Lihat saja! Siapa yang menabur angin, maka akan menuai badai,” teriak seorang pemuda berdarah Indo dengan lantang di depan golongan buruh. Perawakannya yang di atas rata-rata dan mengenakan pakaian Eropa itu disambut hangat serta hormat oleh penggarap ladang. Mereka meluangkan waktu bekerjanya untuk mendengar berita yang dibacakan tanpa curiga akan dibodohi. Sebab, kepercayaan penduduk setempat telah tertanam dari sanjungan baik yang mengenalnya dengan sebutan “Kancane  Raden Mas Dierja.”

Pemuda yang kini menjadi pusat perhatian itu menyibakkan lembaran surat kabar berbahasa Belanda di tangan kanannya. Ia menunjukkan gambar seorang Bupati Pendekar yang paling berperan pada topik pembahasan. “Lihatlah! Sudah jelas tertulis bahwa Tuan Bratadikara telah difitnah oleh Residen Donner yang bersekongkol dengan patih dan jaksa-jaksa di Kota Pendekar untuk menjatuhkan beliau.” Lisannya kian tegas dan lugas membuka rasa penasaran tiap-tiap rungu.

“Beliau bukanlah dalang dari komplotan maling yang berhasil menggasak rumah Tuan Residen, apalagi sebagai sumber subversi. Melainkan orang lain yang sebenarnya sudah dibawa ke pengadilan. Tetapi, sebab paranoidnya kekuasaan kolonial terhadap gerakan politik kaum pribumi, mereka lebih mementingkan hak istimewa pejabat Eropa daripada suara seorang Bupati Pribumi,” lanjutnya seraya menggenggam erat surat kabar itu sampai lecek dibuatnya. Para pendengar perlahan mengangguk mengerti, kemudian ia biarkan menyimpulkan sendiri.

Di tengah-tengah deru badai yang menjajah isi kepala, salah seorang dari buruh menceletuk dengan logat khasnya, “Yen priyayi ora diajeni, apa maneh adewe sing ora ana apa-apa.” 

Pria tua berbaju kusam itu melangkah lebih maju, “Senajan adewe mung wong cilik, nanging londo tetap ora adil. Sing penting wani dhisik. Ya utowo ya?!”  Selepas berhasil mengambil atensi orang-orang yang berkumpul di depan ladang dengan menyuarakan semangatnya, pendengar sekalian membalas pula dengan anggukan dan sorakan yang menyetujui pendapatnya.

Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, mereka mulai menyadari kalau manusia itu berhak diperlakukan sama rata dan memberi ruang untuk membangun rasa nasionalisme dalam setiap individu. Pemuda tadi menelisik dari ujung ke ujung diiringi sesabit kurva yang terbit dengan puas. Bahwa ia menyelesaikan tugasnya.

***

Suara hiruk-pikuk di Kota Bandung tengah sibuk menggerogoti desas-desus permainan politik Belanda yang sudah menyebar di seluruh Pulau Jawa. Pro dan kontra yang diperdebatkan banyak didasarkan pada sumber informasi berupa surat kabar “Medan Prijaji” berbahasa Melayu milik priyayi–Raden Mas Dierja Priyamba–dimana sedang diawasi secara khusus oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam rubrik “Dreyfusiana” di koran tersebut, Dierja menurunkan serangkai reportase tentang persekongkolan seorang Residen Pendekar dan menyuarakan ketidakadilan yang dialami bawahannya, yakni Bupati Pendekar.

Sedangkan, di kantor percetakan surat kabar milik Dierja, datang sekelompok orang berkulit putih menaiki dokar mewah. Mereka membawa sepucuk surat dari Gubernur Jendral di Batavia yang berisi peringatan dan denda atas artikel buatannya karena dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda. Namun, gertakan mereka tidak mampu menumpulkan tajamnya pena seorang Dierja. Terlebih ia semakin mengasah tulisannya dengan mempertajam analisis permasalahan sebagai bangsa terjajah dan alamat pengadilan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan, kemudian ia merangkainya dengan  kata-kata tajam dan pedas. Tujuannya sebagai wartawan sekarang ini hanya satu, menyadarkan bangsa Pribumi tentang hakikat penjajahan yang merugikan bangsa dan segera meninggalkan nasib bangsa yang terperintah. 

Beberapa minggu setelah peringatan yang tidak membuahkan perubahan, delik pers pun terjadi. Di perjalanan tepat sebelum Dierja menghadap pengadilan, sahabat yang selalu mendukungnya dan seorang Mesties  memperingatkan seberapa besar langkah yang ia ambil. “Aku hanya bisa membantu menyebarkan berita pada mereka yang buta huruf dan aku sudah memastikan kalau hampir semua ada dipihakmu, Dierja. Tetapi, tidak sedikit dari mereka yang ragu kita bisa melawan Belanda,” tuturnya dengan nada sedikit gelisah.

“Memangnya kenapa Robert? Ini bukan pertama kalinya kan, aku dipanggil ke ibu kota untuk menghadap hakim. Bedanya hanyalah aku terancam delik pers,  kamu mengkhawatirkan itu setelah semua ini terjadi?” ucap Dierja dengan santai seakan bukan membahas sesuatu yang besar. Ia memang licin bagai belut.

Usai menyusuri rimba di kepala dengan mempertimbangkan perkataan si lawan bicara, Robert membuka bilah lisannya, “Raden Mas, kamu akan menjadi pribumi pertama yang melawan pengadilan kulit putih tanpa pengacara. Kau siap menerima apa pun konsekuensinya?” tanyanya sambil memegang pundak kanan Dierja dengan penuh harapan, kedua netra legam tersebut menuntut jawaban pasti.

Pemuda yang mengenakan setelan baju Cak itu merekahkan senyumnya, respons yang di luar dugaan. “Wis tak omongi, sampeyan aja nyeluk kanthi jeneng iku, aku ora seneng. Ngene  loh, Robert, dengan melawan kita tidak sepenuhnya kalah, sebagai wartawan aku harus bisa menampung suara publik dan membela hak-hak kita,” jawab Dierja tanpa ragu, pula mampu meredakan kekhawatiran yang mengusik pikiran sahabatnya. Meski tidak akan mengubah kenyataan yang ada.


Menjelang sang surya tepat di atas kepala, dokar yang ditumpangi pemuda Indo dan pemuda priyayi itu telah sampai pada tujuan. Seruan pengikut jurnalis muda yang mencapai ratusan tersebut mulai terdengar gaduh saat Dierja memasuki tempat pengadilan, menjadi sambutan pertama untuknya. Tak sedikit wartawan di sana menantikan pertempuran yang siap diabadikan. Mulai dari cara Dierja berjalan jongkok sesuai perintah, lalu duduk tak beralaskan apa pun di depan hakim. Mereka mencatat semua itu dengan sangat detail sampai ke akar-akarnya.

Tok! Tok! Tok!

Selesai menyatakan dibukanya persidangan dengan mengetok palu sebanyak tiga kali, hakim kemudian melanjutkan pada inti permasalahan. “Raden Mas, kenapa Anda tetap menerbitkan surat kabar berisi kecaman dan kritik kepada pemerintahan meski sebelumnya sudah diperingatkan dan diberi sanksi?” tegur hakim yang tentu saja seorang Totok.  

“Saya hanya melakukan apa yang sepatutnya saya lakukan sebagai seorang wartawan dan sebagai seorang pribumi.” Kedua netra bak biji kelengkeng milik Dierja tak sungkan-sungkan melotot tajam ke arah hakim.

“Tidak sepatutnya kowe  memprotes pengadilan, apalagi dengan menggunakan akal bulus pada koran-koranmu. Keputusan untuk mengasingkan sementara Bratadikara ke Padang dan mencabut jabatannya adalah hasil akhir dengan penuh pertimbangan,” sergah pria paruh baya tersebut.

Dierja menghela nafasnya sejenak, menahan amarah yang menggebu. Sang hakim lupa bercermin, begitu pikirnya. “Tuan hakim yang terhormat, di sini hukum memperlihatkan siapa yang dimakan dan siapa yang memakan. Seolah menempatkan pribumi sebagai penonton atas pertunjukan yang dibuat-buat. Bukankah kalian seharusnya malu karena telah berbuat tidak adil pada hukum yang kalian buat sendiri?!” timpal Dierja tanpa aba-aba dan langsung mendapat sorak-sorai yang berbeda-beda dari penonton sidang.

“Suarakan saja pendapat kowe pada kaummu, bukan di sini!” hardik hakim bermata biru itu yang jelas menutup mata pada pribumi.

Lalu, setelah merasa tidak akan selesai bila melanjutkan perdebatan, tanpa basa-basi ia menyimpulkan, “Saya rasa sudah cukup jawaban Anda,” ia merapikan kembali berkas-berkas yang berisi kasus Dierja di atas mejanya, “Atas tuduhan menghina pejabat Belanda dan terkena Drukpersreglement 1856 ditambah Undang-undang Pers tahun 1906. Raden Mas Dierja Priyambada atau Dierja Priyambada dijatuhi hukuman pembuangan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan,” finalnya.

Tok! Tok! Tok!

Lantas, usai suara palu sidang menderu tiga kali, terhempas sudah semangat pembela. Mereka sangat naik pitam, namun hanya dapat bungkam dan menyayangkan kekalahan Dierja. Termasuk Robert yang hanya bisa mengepalkan jari-jari tangannya penuh emosi di balik kursi penonton. Sementara itu, yang didakwa justru tidak goyah sedikit pun. Dierja tetap tegap pada posisinya, netra legam itu sama sekali tak melepaskan pandangan pada jejeran Totok di hadapannya.


“Jadi, seperti ini kalian memperlakukan pribumi di negaranya sendiri, orang-orang yang dianggap tamu di ranah kelahirannya. Sebegitu mirisnya para kolonial itu, kaya ora ana negarane dhewe, Dasar Totok ora duwe isin !” ungkap Dierja dalam batinnya, meluapkan segala emosi dalam benaknya.

Dengan berat hati ia pun menerima semua tuduhan yang dilontarkan, mengabaikan olok-olokan yang menghantamnya dari belakang, dan tetap teguh pada tujuan awalnya. Saliva itu ia telan, berusaha tidak melontarkan pemberontakan yang sia-sia. Menunggu per sekian detik supaya lebih tenang, kemudian ia membalas dengan lantang, “Baik, saya akan pergi dengan sehormat-hormatnya!”


Kunci permainan: R.M Tirto Adhi Soerjo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis