Utopia Negeri Mimpi
Ia menang lagi.
“Sialan!” umpat lawannya tidak terima, diiringi lembaran kartu yang dibanting serampangan ke tanah. Sosoknya hanya terkekeh menyaksikan penderitaan si lawan yang terpaksa menyodorkan setangkup uang merah kepadanya. Matanya menghitung dengan cepat sebelum akhirnya menerima uang itu. Ia tersenyum dengan puas menyelimuti, lalu memasukkan lembaran bernilai jutaan tersebut ke saku jaketnya. Selagi tatapan dari sepasang netra laki-laki di depannya masih mengikuti uang itu bersama celetukannya, “Gue benci judi.”
Tawanya pun lepas. “Besok-besok kalau lo yang menang, pasti bilangnya lain lagi.” Dengan berat hati laki-laki itu mengangkat bahu menanggapi pernyataannya. Ia pun membiarkan hening di antara mereka, sebagai gantinya jemarinya mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lama kemudian, asap berkumpul di sekeliling sosoknya seperti selubung kabut tipis.
“Bagi satu.” Tiba-tiba laki-laki itu melirik dan menyodorkan tangan kosong ke arahnya. Ia tersenyum simpul, lalu melempar bungkusan tersegel berona merah ke tangan yang menadah dan menimpali sang empunya, “Bokek beneran, ya, lo.”
Dengan santai pemuda berlengan kekar itu menyalakan rokok, menambah polutan di tempat mereka duduk. “Iya, lah. Kan, gue bukan anak dewan.” Itu sebenarnya adalah sindiran baginya. Memang, kebanyakan orang hanya menganggap eksistensinya sebagai anak dewan. Bahkan, teman terdekatnya juga.
“Undang-undang baru nggak jelas, makin mencekik rakyat. BBM naik terus. Peraturan sekolah negeri juga makin mengawur. Mau sekolah saja ribet. Yang miskin tambah miskin, yang kaya makan yang miskin,” cerocos laki-laki tersebut setelah menghembuskan hisapan rokok ke dua, mengomentari nasib negeri yang memang apa adanya.
Ia hanya termenung, sembari menikmati batang nikotin yang melekat di bibirnya. Sekian menit berselang, akhirnya ia menanggapi, “Ikut demo, lah, sana.”
“Apa gunanya?! Nggak bakal mereka dengar suara kita!” tawa sinis lawan bicaranya. “Mereka bisanya sembunyi cantik di balik kursi dewan. Ya, kan?”
Mau tak mau ia ikut tertawa. “Iya. Suara kita nggak bakal didengar.” Tawanya semakin menjadi-jadi, puas mengungkungnya kala teringat sarkasme yang nyata akan nasib.
***
Mobil yang licin mengilap tanpa noda itu dengan mulus melaju di tengah jalan yang sebenarnya tengah sesak oleh kemacetan, berkat iring-iringan mobil-mobil hitam dengan sirene yang memekakkan telinga. Ia memandang keluar lewat kaca mobil, memperhatikan deretan kendaraan yang terpaksa menepi karena mobilnya sendiri hendak lewat. Padahal, mobil berona silver ini sebenarnya hanya sekedar menuju ke salah satu tempat wisata ternama. Bukan urusan penting. Bisa jadi kendaraan lain yang memberi jalan justru sedang tergesa-gesa. Barangkali ada yang terlibat janji penting, urusan kantor, atau malah nyawa. Namun, beginilah realitasnya. Yang punya kuasa, dialah yang lebih berhak.
Selain golongan orang-orang yang memberi jalan, rupanya ada pula oknum-oknum yang justru memanfaatkan kesempatan jalan tengah ini. Buktinya, beberapa mobil dan motor turut menempel di belakang mobil mereka, demi mendapat kemudahan arus lalu lintas yang sama.
“Dasar orang-orang tak bermoral.” Itu ayahnya, duduk di sebelah kemudi sopir di depan. Pria yang mengenakan kemeja santai dan kaca mata hitam itu melirik ke kaca spion. Maksudnya “orang-orang tak bermoral” tentu adalah mobil-mobil yang membuntuti mereka di belakang.
Ibunya yang duduk tepat di sebelahnya turut menimpali. “Memang nggak tahu malu sama sekali.” Wanita paruh baya itu tampak mencela. “Lagian kenapa macet seperti ini? Nggak ada polisi yang bertanggung jawab, apa?” Ia mendengus mendengar pertanyaan yang tak butuh jawaban itu. Dasar tikus banyak uang.
***
Malam sudah semakin larut, namun anehnya jalan masih padat merayap. Wajar saja di akhir pekan seperti ini, memang Puncak senantiasa dihiasi oleh orang-orang kota yang butuh angin. Mobil-mobil layaknya semut berbaris di antrean, bahkan mobil mereka pun mau tak mau juga tak berkutik sama sekali. Untungnya, pemandangan indah deretan kebun teh dan kelap-kelip lampu rumah di kaki gunung mampu menghiburnya dari kesuntukan di tengah kemacetan. Sedangkan, berbeda halnya dengan kedua orang tuanya. Ada saja yang jadi bahan perundungan mereka.
“Jalan ini harusnya diperbesar.”
“Astaga, lihat sampah yang menumpuk itu. Jorok sekali warga di sini.”
“Mobil di depan kita sepertinya mobil bekas.”
Kalau ia anak yang terang-terangan dan kurang ajar, ingin sekali rasanya tangannya bergerak menyumpal mulut mereka.
“Ya, ampun. Anak-anak sekecil itu sudah jadi pengamen.”
“Orang tuanya pada ke mana?”
“Masa masih SD begitu malah mengamen. Harusnya, sekolah yang benar.”
“Miris banget sama orang-orang begitu.”
Pandangannya pun mau tak mau ikut jatuh ke sekelompok anak yang beberapa tahun lebih muda darinya. Mereka berlarian di antara mobil-mobil, membawa gitar dan kecrek kecil, bernyanyi riang dan menyodorkan bungkusan bekas makanan sebagai wadah penerima uluran tangan yang menyodorkan uang tak seberapa. Salah satu anak kecil menghampiri mobil mereka dan melambai berharap. Tetapi, ayahnya urung menurunkan kaca. “Biar saja,” ucap pria kepala empat itu. Netra bak biji kelengkeng miliknya pun mengikuti anak tadi, yang sudah berpindah ke mobil lain. “Anak seperti itu jangan dikasihani. Nanti malah makin liar hidupnya.” Suara ayahnya seakan masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
“Nyanyian pinggir kota/ apa kabar desa?/ masih sibuk menyusun padi, biar yang kaya bisa makan/ yang miskin sisa uangnya...”
Ia terpana. Nyanyian anak-anak itu terdengar sayup-sayup, karena langkah mereka semakin menjauhi mobilnya. “Hai, orang kota/ selamat datang di desa/ kita satu bangsa/ kenapa pura-pura berbeda?”
Lama, akhirnya suara anak-anak pengamen itu sudah tak terdengar lagi. Ayah dan ibunya pun sudah berganti topik entah membicarakan apa. Ia pun terdiam, memejamkan matanya dalam kalut. Entah kenapa, ingin rasanya ia turut bernyanyi bersama anak-anak itu, menegur kaca demi kaca mobil yang angkuh... berlarian ke sana-kemari dengan bebas.
“Kita satu bangsa/ tapi bukan di negeri yang sama..."
Ia turut bersenandung dalam mimpinya.
***
Yang ia tahu, Tuhan sungguh adil. Benar nyatanya, orang tidak selalu berada di atas dan hukuman tidak selalu berwujud di akhirat. Ada kalanya, kebenaran turun tangan agar gelap tak selalu menyelimutinya.
Ia berdiri di tengah-tengah kekacauan. Televisi yang masih menyala dengan layar kaca yang retak. Ibunya yang berteriak-teriak kalap, menangis heboh. Sirene yang menggebu-gebu di luar rumahnya. Pembantu-pembantu yang kebingungan, berbisik-bisik tidak percaya. Sementara itu, suara dari pembawa berita di televisi yang menjadi sumber kekacauan ini pun menjelaskan semuanya.
“Salah satu anggota dewan, Adinata Jatmiko, telah ditahan atas dugaan kasus korupsi proyek A... polisi dan K*K masih berusaha mengusut kasus—”
“Sialan!” Tamat riwayat televisi mahal itu. Ibunya baru saja melempar guci besar, meremukkan kedua barang sekaligus dengan suara yang membuat ngilu. Belum berhenti di situ, terdengar suara gedoran pintu depan. Wanita yang terlihat kacau baik penampilan maupun ekspresinya itu menatap nyalang, demi mendengar suara berat yang sahut-menyahut di luar sana.
“Kami dari kepolisian dan K*K!”
“Kami membawa surat izin menggeledah kediaman Pak Adinata Jatmiko!”
Ibunya seketika jatuh merosot ke lantai, lemas. Pipinya basah berurai air mata, wanita yang semakin tidak karuan itu terisak. Suara sirene dan gedoran masih sahut-menyahut. Sedangkan, ia tak bisa menahan dirinya. Ia pun tertawa.
***
Salah. Tuhan memang adil, tetapi manusia memang makhluk licin yang pandai meloloskan diri dari keadilan. Selang beberapa hari setelah berita menggemparkan itu, nyatanya–Adinata Jatmiko–ayahnya sendiri, berhasil lepas dari segala jerat hukum. Entah berapa uang yang dihabiskan demi itu, ia tak mau tahu. Karena sekarang, raganya seolah berjalan dengan langkah yang lebih ringan.
Ia muak, ia kabur dari rumah. Sendiri, berjalan di pinggiran kota tanpa membawa apa pun. Bahkan uang hasil judinya selama ini pun tak dibawa. Meski hasil jerih payahnya sendiri, tetapi ada perasaan lega tidak membawa sepeser pun harta gelap. Sekejap, ia tiba-tiba teringat sesuatu, merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Didapatinya puluhan panggilan tak terjawab dengan nama “Ayah” dan “Ibu” tertera dengan jelas berderet di layar ponsel.
Jemarinya kembali bergerak mengecek saku. Dikeluarkannya sepasang benda yang selalu menemaninya, sebungkus rokok dan pemantik. Bilah lisannya tanpa sadar membentuk lengkungan manis. Angin malam meniup wajahnya dengan lembut, menerbangkan helai demi helai rambut dan kegelisahannya. Ia mendongak menatap butiran cahaya yang berkelap-kelip di langit. Rasanya seperti mimpi.
Kakinya melangkah membawanya ke tempat pembuangan sampah. Ia terdiam lama sambil menimang ketiga benda itu. Perlahan, tangannya bergerak melempar bungkus rokok, kemudian pemantik, dan terakhir...netra legamnya mengikuti sementara ponselnya melayang di udara, lalu berdebam jatuh di antara tumpukan sampah yang lain. Hening. Namun, sebuah beban yang selama ini menghantui perlahan terkikis dari pundaknya. Ia menghela nafas lega, akhirnya.
Ia bukan lagi anak anggota dewan, bukan lagi anak berandal yang diam-diam berjudi dan merokok di balik punggung kedua orang tuanya. Ia bukan siapa-siapa. Hanya sosok yang berdiri sendiri, tanpa para tikus haus uang di kursi jabatan, tanpa orang-orang yang bersembunyi dari kebenaran, tanpa rasa takut. Walaupun ia sadar semua itu sekedar angannya yang lari dari kenyataan. Tetapi, biarkan ia menikmati rasa ini sejenak. Rasa yang seperti…berada di negeri mimpi.
Kunci permainan: politik
Komentar
Posting Komentar