Elegi Edelweiss

 Paris, 26 Juli 1906

Sera sayang,

Tidak ada yang membuatku lebih bahagia daripada bertemu denganmu. Aku ingat 13 tahun yang lalu saat musim semi, Prof. Isak mengenalkanmu sebagai sarjana Fisika dalam acara jamuan teh. Kamu dengan sangat fasih berbicara tentang sains yang membuatku hatiku terkagum. Bagaimana senyum manismu ketika menemukan radium masih melekat di ingatanku. Matamu berbinar penuh bintang di malam hari sambil memandang siluet dari tabung bercahaya, yang tampak seperti lampu peri yang redup, katamu. Terimakasih sudah menepati janji untuk menghabiskan hidup berdampingan, terhipnotis oleh mimpi kemanusiaan dan mimpi ilmiah kita. Happy Anniversary, Seraphina Anke. 

With love, L. Helga Jeager

Bersama sepetik bunga Edelweis dari pegunungan Alpen, yang murni dan abadi.


Paris, Juli 1914

“Kamu berencana melarikan diri dari kekacauan bersama semua itu?” celetuk seorang pria–bername tag ‘Prof. Isak Kiesinger’–yang memecahkan fokus Sera. Ia menyender pada gagang pintu ruang serba putih tersebut sambil melipat kedua tangannya di dada.

Tanpa melepas kesibukannya, Sera menjawab, “Tidak, aku berencana ikut dalam peperangan.” Lantas, Isak menghampiri dengan mulut menganga terkejut. Alisnya mengerut, tatapan dari balik kacamata bundarnya penuh tanda tanya. Ia terjebak enigma sebab jalan pikir sang empunya. “Kamu mengundang aku ke sini buat bikin senjata?” tanyanya memastikan.

“Bukan, aku mau mengarahkan keterampilan ilmiahku demi menyelamatkan nyawa.” Sera mengambil selembar tiket kereta api dan beberapa lembar uang dari kantong jasnya, kemudian memberikannya pada laki-laki bersurai coklat pirang itu.

“Ini, angkutlah stok radiumku ke Bordeaux dan tinggalkan di brankas bank lokal. Aku akan mengambilnya kembali setelah memenangkan perang,” perintah wanita berkulit beige tersebut.

***

Paris, 5-12 September 1914

Paris berderak panik sejak Jerman mendeklarasikan perang. Tidak ada yang bisa tidur dengan tenang sebab serangan udara sporadis yang menghantam ibu kota pasti akan terjadi kapan saja. Pesawat biplane  Jerman membom kota dengan selebaran-selebaran propaganda agar Paris menyerah. Jeritan dan teriakan melengking dari puluhan ribu warga yang melarikan diri dari kota memadati stasiun kereta api, bagai telur di ujung tanduk. Di sisi lain, pasukan kavaleri Jerman yang menyeberangi Sungai Marne sudah terlihat di pinggiran Meaux. Rencana Schlieffen  untuk membanjiri tentara Prancis dalam enam minggu bekerja dengan sempurna.

Di bawah kekuasaan Jendral Alexander Van Dominic, angkatan darat pertama Jerman yang diarahkan ke Paris layaknya ujung tombak tiba-tiba beralih ke tenggara, menargetkan tentara kelima Prancis yang mundur melintasi Sungai Marne, melampaui jalur suplai mereka. Prancis dengan percaya diri memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang sayap kanan pasukan Van Dominic yang hanya berjarak 25 mil dari timur laut ibu kota. Tentara keenam –Jendral Moritz Houten– yang diturunkan mengejutkan musuh, teriakannya berkobar-kobar, menjadi semangat ratusan pasukannya untuk melancarkan serangan balasan tanpa sapaan hangat. Pertempuran berkecamuk selama tiga hari berturut-turut di sepanjang garis depan.

“Kau mau ke mana?” Isak menepuk bahu Sera yang selesai membersihkan karburator dan berniat kembali mengemudi. Wajah eloknya kotor oleh debu, rambutnya terlihat rapi digelung dan mengenakan jas biru dongker. Ia terheran dengan pertanyaan Isak yang wajahnya masih berlepotan lumpur usai membalikkan kendaraan yang masuk parit.

“Tentu saja menyelamatnya nyawa!” Sera yang terbawa suasana dan emosi oleh keadaan, sedikit meninggikan suaranya menanggapi pertanyaan konyol Isak.

“Sera! Apa enggak cukup mengarahkan ratusan peserta pelatihanmu dan paramedis ke medan perang? Dengan kondisi buruk seperti ini, lebih baik kalian kembali ke garis pertahanan,” seru Isak yang menyisakan senyum pahit, wajahnya menunjukkan rasa takut yang tak terlukiskan, pula dirinya sendiri terjebak di situasi yang tak benar-benar ia inginkan.

“Jangan jadi pengecut dan bersikap seolah kami perempuan yang lemah, Profesor Isak! Lihatlah, kami telah menyelamatkan banyak orang,” celetuk seorang wanita yang mengenakan topi khas petugas medis, selesai membereskan perlengkapan medis bekas pengobatan.

Di balik kacamata bundar yang tampak kusam, Isak menatap lamat-lamat wanita yang berusaha menunjukkan senyuman tegar itu, “Annelie…” Dahinya mengerut ke atas, bibirnya sedikit cemberut, hatinya sedih, dan prasangka buruk mulai menjajah isi kepalanya. “Kita harus selamat, kita akan menikah setel-” ucapnya terpotong.

Annelie menepuk bahu profesor yang ia sebut pengecut, melempar senyum yang sama, lalu menggandeng tangan penuh lumpur tersebut agar kembali berjuang. Siapa pula yang sempat membuat momen romantis di suasana mencekam seperti ini?! Sera  menggelengkan kepalanya menyaksikan dua insan yang sedang beradu perasaan itu dan mungkin hatinya sedikit iri. Ia segera melajukan kendaraannya usai memberi pertolongan kepada korban perang. Bhkan langit malam pun lebih tau, tidak ada yang mau memandang tentara-tentara tertinggal ketika hujan ledakan dan peluru memenuhi angkasa.

BUM!

“SEMUANYA MAJU! Tidak ada yang mundur atau akan kutembak mati! Tidak boleh ada pengecut dan penghianat di sini! Bertempurlah sampai di titik darah penghabisan!” Diawali dengan senapan mesin milik Moritz yang menembus dahi pasukan lawan, suara Jendral Moritz Houten menggema, membakar semangat pasukannya yang telah letih.

Menjelang subuh, senapan mesin dan meriam modern merobohkan pertahanan musuh. Mereka menekik, menghujaninya dengan bom. Tembakan keras oleh sekutu dari parit di blok barat pun ikut diluncurkan. Matahari mengucapkan selamat tinggal sebelum sempat menyapa, cahayanya tak sampai menembus asap-asap senjata api yang mulai memenuhi atmosfer kota. Sementara penyadapan radio dan pengintaian udara yang digunakan dalam pertempuran menandakan masa depan peperangan. Gema masa lalu sangat membekas pada pasukan kavaleri Prancis yang menunggang kuda, tentara pantalon merah menyerang di belakang komandan dengan pedang terhunus. Pertempuran besar pertama Perang Dunia 1 menghasilkan kematian dalam skala industri yang belum pernah terlihat sebelumnya. Seakan penabuh genderang sedang memberikan soundtrack musik bagi darah yang telah tumpah.

Moritz menegak air minumnya, menahan lapar semalaman. Jendral Angkatan Darat itu menahan rasa sakit di lutut dan perut akibat peluru senapan tentara Jerman yang membuatnya berjalan terseok-seok. “Moritz!” Tiba-tiba panggilan asing dari seseorang menghentikan langkahnya yang seperti zombie karena kakinya bercucuran darah. Ternyata, itu Sera dan paramedis. Mereka segera memberikan pertolongan pertama pada infanteri bertubuh gempal itu, sementara yang diobati terus mengaduh kesakitan. “Kau berlagak garang pada pasukanmu padahal kondisimu seperti ini. Istirahatlah sebentar di mobil kami selagi dokter mengobati lukamu,” ujar Sera seraya menunjuk mobil radiologi yang tak jauh dari tempatnya.

Isak melepas rompi anti-peluru Moritz dan membaringkannya di atas tandu. Annelie sebagai ahli bedah langsung berjaga di posisinya. Ia dibantu Sera menyiapkan mesin sinar x dan peralatan lainnya. Gelombang radiasi memindai organ dalam tubuh Moritz perlahan, menurunkan kecepatan detak jantungnya menjadi lebih tenang. Bayang-bayang bangunan yang jatuh berdebam, berhadapan langsung dengan sniper Jerman, dan menembak ratusan manusia tak berdaya, kini tak lagi ia pedulikan. Fokusnya beralih pada wanita pemilik jaz biru dongker di hadapannya, “Jadi, kau yang waktu itu mengatakan tentang mobil dan mesin ilmiahmu?”

Sang empunya diam sejenak. Ia tertegun sebab pria yang penampilannya sudah amburadul–helmnya miring dihiasi wajah kumal–mampu mengenalnya. “Namaku Seraphina Anke, istrinya Helga. Tak mungkin kamu tidak mengenalnya, kan?” Sera mengenalkan diri. Selagi si ahli bedah meluncurkan aksi untuk mengambil peluru di dalam perut pasiennya, pula Sera membuka pembicaraan agar Moritz tetap terjaga selama operasi.

“Ma-maksudmu Helga Jeager?” Menahan rasa ngilu dan perih, Moritz berusaha mengingat sahabat seperjuangan itu. “Dulu saat masih pelajar, aku dan Helga memiliki harapan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Jadi sekarang kau yang menggantikannya, begitu?”

Sera mengangguk setuju. “Iya, selama masih bisa, aku harus mewujudkannya.” Lagi-lagi ia tersenyum pilu mengingatnya. Melihat lencana jabatan dan lambang bunga Edelweiss yang mengkilap di seragam Moritz menambah rasa cemburunya. “Kau juga, abdikan dirimu pada tanah air dan abadikan harapanmu di dalamnya. Jangan menghianati kemurnian lambang pada seragammu sendiri, demi kemanusiaan!” Jemari lentik itu mengepal dan menepuk dada Moritz sedikit kencang, membuat si lawan bicara menahan rasa sakit yang lain.

“Demi kemanusiaan!” timpal Moritz dengan kumis melintangnya yang melekuk-lekuk. Untung saja peluru tidak mengenai perutnya terlalu dalam. Dengan keterampilan terbaik Annelie selama bertahun-tahun sebagai ahli bedah, operasi telah berjalan mulus, pun tidak memakan banyak waktu. Jendral angkatan darat tersebut segera merapikan seragam tempurnya, mengecek keadaan senapannya, dan kembali ke medan pertempuran.

Pesawat mata-mata sekutu melaporkan kelemahan posisi Jerman. 6.000 infanteri pasukan cadangan bergegas dari ibu kota ke garis depan berkat sarana transportasi yang diminta Moritz. Mata birunya mengamati bahwa Jerman terlalu meremehkan strategi pertahanan Prancis. Lantas, Moritz tak segan melancarkan serangan mendadak, mengepung Jerman di segala sisi, dan menghancurkannya. Ia memang garang bukan main. Para tentara yang turun tiada henti menyapu pandangan. Mereka semakin mendorong Jerman mundur ke utara Sungai Aisne, di mana pertempuran akhirnya berakhir setelah merengut ratusan ribu nyawa di kedua sisi. Kemenangan strategis bagi sekutu terbukti menjadi titik balik kritis dalam perang. Paris diselamatkan dari penangkapan. Gagasan tentang perang singkat telah pupus. Rencana Schlieffen telah tercabik-cabik dan ditinggalkan.

***

10 Desember 1918

Begitulah cerita yang dipertunjukkan kepada audience dalam acara penyerahan penghargaan Nobel, membuat misteri selama ini terpecahkan. Mengapa wanita paruh baya tersebut mati-matian menyelesaikan penelitiannya sendirian dan meyakinkan lembaga ilmiah bahwa dia setara untuk menggantikan suaminya menjadi bagian dari institut Prancis.

Mematenkan proses pemurnian radium kemudian menjualnya sebagai pengobatan kanker, dan melakukan kontribusi luar biasa ke masyarakat pada perang dunia bukanlah hal yang mudah. Tat kala netra si pembuat buku diary tersebut menangkap bagaimana para peneliti ikut merasakan perjuangannya, tetap saja seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul.

Di akhir penyerahan penghargaan ia mengatakan, “Saya bekerja di laboratorium sepanjang hari demi mimpi kemanusiaan dan mimpi ilmiah yang bermanfaat bagi masyarakat. Saya lebih baik di sana daripada di tempat lain.”

Meraih penghargaan Nobel bagi Sera adalah bentuk cinta tak bersyarat yang diberikan Helga dengan terikat janji sesama peneliti ataupun sebagai pendamping hidup demi mewujudkan harapan pada mimpi mereka. Adalah segala penghormatan entah itu suka atau duka yang ditujukan kepada mendiang suaminya, tentang seberapa besar cintanya dalam melanjutkan penelitian mereka, dan tentang seribu ide untuk merealisasikan harapan-harapan yang ia genggam, perlahan mengiris hati tiap-tiap rungu. Sebab, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan orang mati meninggalkan nama. Lantas, Siapa yang mau mengabaikan tujuan mulia dalam cinta tak bersyarat itu?


Kunci permainan: Marie Curie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis