Membumi Retorik

Matahari perlahan condong ke ufuk barat. Hawa dingin berangsur-angsur menjadi hangat. Rona abu usai bertamu, kini ranah cakrawala menjamu lembayung senja yang memanjakan kamera ponsel setiap pengunjung taman kota pada hari itu. Namun, seorang pemuda tampak tak menghiraukan keadaan. Dia berjalan merunduk. Agaknya ada suatu hal yang menggayuti pikirannya. Tangan kanannya mengayun-ayunkan tangkai payung hitam dan kadang-kadang duduk termenung di bangku kayu.

Lama sekali ia berbuat demikian, sampai tak terasa kota telah berputar layaknya bianglala di pusat taman. Suara mesin berlomba-lomba memenuhi jalanan, taman kota banyak dijadikan tujuan, plastik bekas makanan dari kedai mulai berserakan meski tempat sampah sudah disediakan. Menjadi hal biasa saat penguasa malam merajai bentala. Lagi-lagi dia tak berkutik. Alis tebalnya mengerut, mencerminkan seberapa serius pikirannya beradu. Lantas, tiba-tiba dia terlonjak riang. Ia menepuk-nepuk dahinya tanda senang. “Ketemu sudah jawabannya!” katanya pada diri sendiri. Segera lah ia pulang. Kaki jenjangnya melangkah cepat seakan ada yang memburu.

 Tiba di rumah, pemuda berpostur tinggi tersebut segera menyalakan sebuah laptop. Jari-jemarinya sangat lincah mengoperasikan benda yang memuat informasi dari seluruh dunia itu. Tetapi, hanya sederet kalimat tanya yang ia tampilkan dalam layar. Pertanyaan itu mengenai, “apakah manusia unggul di era modern meningkatkan atau merusak potensi sumber daya?” Sekilas terdengar sederhana. Rupanya, pertanyaan dosen di akhir pembelajaran membuat mahasiswanya berpikir, sebab di antara jawaban yang diajukan tidak ada satu pun yang dapat memuaskannya.

Pemuda itu juga sempat mencatat tanggapan teman-temannya. Seperti manusia unggul di era modern meningkatkan potensi sumber daya dengan memanfaatkan teknologi canggih, bahwa manusia di era modern ada yang meningkatkan ada pula yang merusak potensi sumber daya, ada juga yang berpendapat manusia yang baik dan teknologi yang unggul dapat meningkatkan potensi sumber daya. Jelas, tidak ada yang salah dari tanggapan tersebut. Lalu, apa yang membuat dosen tidak puas?

Lantas, dia menyisakan waktunya demi menuntaskan enigma di kepala. Manusia diciptakan dengan akal dan pikiran. Melewati zaman tradisional ke modern dengan kreativitas dan inovasi. Dalam era digital sekarang,  persaingan dan tantangan secara global sangat memerlukan sumber daya manusia unggul demi kemajuan Indonesia melalui ekosistem reka cipta. Tatkala ekosistem reka cipta tercipta baik, maka akan lahir berbagai invensi baru. Pemuda itu merangkai setiap frasa dan menyusun rapi buah kalimat yang sudah matang. Rasanya lega usai mengeluarkan segala sesak di kepala. Dia menyadari pertanyaan itu bukanlah untuk dijawab. Melainkan mengandung sindiran, apakah kita termasuk manusia yang meningkatkan atau merusak sumber daya.

Lalu ketika berada di taman, sejenak, di benaknya timbul tanya, “bukannya mewujudkan karya reka cipta memang membutuhkan sumber daya manusia unggul?


Kunci permainan: karya reka cipta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis