Buluh Jawa di Jalan Setapak

Radar wulan ke enam awal menjadi penadah sejarah manusia. Setiap kalender masehi berganti tahun, tugasnya pun tetap sama. Ia mendampingi sejuta perpisahan namun bertemu dengan sejuta pengganti. Selayaknya semesta, pemberi segala warna-warni teruntuk sang pelakon remaja yang akhirnya melahirkan cerita paling istimewa.

Sedangkan aku, monoton. Penghujung hari selalu menyapaku dengan rutinitas yang membosankan. Berdiam diri di bibir jalan setapak yang memisahkan dua desa. Menari-nari mengikuti ke mana pun irama angin menerpa, yang kadang bisa sepanas gunung sahara dan kadang bisa sedingin es di kutub selatan. 

Kala musim kemarau singgah di dua desa kecilku, sudah tugasku untuk mengikat air dalam tanah guna memastikan pasokan air tetap lancar. Menyimpannya dengan aman di rumpun-rumpun bambu. Lantas jikalau hujan lebat, sampah plastik hasil buangan orang tak bertanggung jawab akan tersekat di antara kakiku maupun di antara tunas baru. Secara tidak langsung telah mengotori habitat yang menolong mereka.

Sebarang waktu, aku merenungi nasib diriku. Kenapa aku bisa diperlakukan seperti ini dan mengapa aku berada di sini. Di sela-sela itu, aku berpikir harga diriku sangat rendah. Pula di beberapa situasi terbesit bahwa nilaiku hanya nol. Bilangan kosong bila berdiri sendiri, apa lagi dari kumpulannya yang terbesar. Nol besar.

Aku merasa diriku makhluk Tuhan yang paling dilupakan. Aku hidup bergerombol bersama sejenisku. Menginjak usia muda, aku bisa saja berguna menyelamatkan mata air. Tetapi seiring berjalannya masa, banyak teman-temanku yang semakin menua dan mempersempit lahan, termasuk aku. Sebagian dari mereka telah kehilangan rona hijaunya, rambutnya kering dan rontok, bahkan ada yang mati mengenaskan. Tak cuma itu, terkadang kami lah penyebab tunas baru sulit bertumbuh.

Ah, andai aku berubah menjadi manusia, maka aku akan meraup berbagai kenikmatan hidup. Jua tak lupa pintar-pintar memanfaatkan tumbuhan di sekelilingku. Jadi, aku terus menambah tanya. “Apa sang pelakon tidak ingin sesekali membagi jeda tawanya padaku?”

***

Usai nabastala belum sepenuhnya membiru laut, pun sang bagaskara masih mengumpulkan nyawanya. Aku sudah mendengar hilir mudik kendaraan roda dua melewati jalanan. Seorang laki-laki paruh baya menaruh gerobak berisi ikan lele di dua sisi motornya. Wanita pemakai baju ala kadarnya itu membonceng berbagai jenis sayuran berniat di pasarkan. Ada juga yang membopong barang-barang bekas untuk diperjual-belikan. Entahlah, hanya itu yang dapat aku cermati dari kehidupan mereka. Orang-orang yang berlalu lalang melewati jalan setapak ini tak ada yang menghiraukanku, karena aku tidaklah berharga di mata manusia.

Yang paling menarik, aku menyaksikan dua pemuda berusia matang yang tak asing lagi itu sedang berjalan-jalan pagi. Memakai pakaian santai, rambut yang tidak tertata rapi, kelopak mata bak biji kelengkeng yang masih berat, dan beralaskan sandal jepit tipis. Serupa hari-hari kemarin, mereka terlihat menikmati segarnya udara pagi. 


“Jun, lo jadi ambil kerja yang kemarin itu?” celetuk laki-laki yang lebih tinggi, Ale. 

“Nggak jadi,” jawab si lawan bicara singkat.

Ia mengerutkan kening, heran. “Kenapa?”

“Nggak papa,” jawab laki-laki berasma depan Ijun tersebut. 

“Ini udah yang ketiga kalinya gue denger jawaban klasik elo.” Ale berkomentar. 

“Terus?” tanya Ijun yang bersikap tidak peduli.

Ale menghentikan langkahnya penuh pasrah. “Ya mau sampai kapan lo nolak peluang kerja.” Ia diam lima sekon, memikirkan sesuatu yang tiba-tiba singgah di benaknya. “Jangan bilang cita-cita lo mau jadi gembel?” lanjutnya.

Ijun yang berjalan di depan, lantas memutar badannya ke arah belakang. “Kalo ngomong di jaga, ya!”

“Habisnya hampir setengah tahun sejak gue dapet kerja, tapi lo malah sibuk nolak peluang,” tutur Ale.

“Terserah gue lah,” balas Ijun yang hampir memotong perkataan Ale.

“Awas aja, ntar kalo gue kaya duluan larinya jangan ke gue,” ucap Ale sedikit ketus, kemudian mendahului temannya yang sudah tersulut emosi.

Ijun menaikkan satu alisnya. “Dih?” Ia mengimbangi langkah Ale. “Gue tuh masih kepingin coba usaha kerajinan. Berhubung juga suka musik, gue mau bikin kerajinan alat musik gitu, tapi sekarang lagi mikir yang unik dan menarik perhatian pembeli tuh kayak gimana,” jelas Ijun dengan banyak penekanan.

Sejeda, usai Ale menyimak segudang ide Ijun, ia melirik pemuda di sebelahnya itu, “Jadi biduan aja udah,” saran ia dengan maksud bercanda. 

“Ale! Kalo ngomong dijaga, jelas-jelas itu beda!” sergah Ijun yang semakin meninggikan suaranya, ia benar-benar kesal sekarang.

Bukannya merasa bersalah, Ale malah terpingkal sebab respons sang empunya. “Hahahahaha, iya sorry.”

***

Tiga hari terhitung setelah peristiwa itu, Ijun dan Ale datang lagi ke tepi jalan setapak. Namun yang membedakan, mereka membawa satu sabit masing-masing di tangan kanannya. Tak ku temukan rona tawa yang dulu terbesit dalam raut keduanya. Kini teduh matanya tersorot aura lebih serius. Mereka mendekat lebih dalam di antara bambu-bambu. Rasa penasaranku langsung terjawab usai mereka menjemputku bersama teman-temanku yang telah menua. Menggotong kami pergi jauh dari habitat kami, entah ke mana.

Terpaut dua minggu sejak aku di bawa dan selama itu pula aku di diamkan begitu saja bermain dengan angin-angin. Lalu, saat diriku sudah mengering sempurna, mereka membelah tubuhku menjadi beberapa bagian. Dengan separuhnya diiris lebih tipis dan ditata berdempetan sejajar dengan cairan kental sebagai perekatnya.

Walau tak lagi monoton, sekarang aku tidak mengerti apa yang terjadi. Selesai cairan kental di sela-sela kami membeku, pemuda yang dipanggil Ijun itu menghampiri tempatku. Namun bukan aku yang diambilnya, melainkan kayu besar di samping kanan ku. Ia mulai memotongnya membentuk sepasang lekukan-lekukan cantik. Kemudian, ia mengiris bambu yang masih utuh di sebelah kiriku menjadi potongan panjang dan agak tebal.

Tak berhenti di situ, ia kini merangkai kami yang berupa potongan dan irisan menjelma satu buah unit gitar. Bermetamorfosa menjadi barang bernilai guna. Sesabit kurva itu terbit di garis bibir merah delimanya sembari sang pelakon mewarnaiku dengan teliti dan diakhiri dengan cat transparan. Sebagai pelengkap, ia menyetel nada dengan mengaitkan ujung senar. Dari yang aku amati, ia tidak menggunakan ukuran baku ataupun menggunakan alat canggih. Ia hanya mengandalkan feeling dan kebiasaannya menyenandungkan nada.

Meski demikian, ia mampu membuatku menjadi karya terbaik dan tentu saja diakui oleh banyak orang terkait bagusnya suara yang di hasilkan. Kini, aku menjadi milik seorang kolektor barang-barang unik. Aku senantiasa dirawat dengan telaten. Yang selalu dimainkan saat sang senja menggoreskan rona merah jambu di atas cakrawala. Bahkan, aku pernah diajak ke suatu gedung besar untuk melengkapi secarik lagu. Aku lebih disayangi dan diingat manusia. Mulai saat itu pula, aku menjadi lebih berharga.


Kunci permainan: Ekonomi kreatif https://jogja.tribunnews.com/2018/09/12/kakek-ini-membuat-gitar-dari-batang-bambu-bagaimana-suaranya 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis