Hujan Halau Mentua
“Pengumuman untuk ruang konferensi utama, karena pertemuan presdir dengan kantor kejaksaan, rapat darurat hari ini dibatalkan. Rapat selanjutnya akan diberitahukan kembali. Sekali lagi, karena pertemuan presdir…”
Amaya menguntai langkahnya pelan sambil menimang ponsel di tangan kanannya. Jemari lentik itu tengah sibuk menggulir deret restoran yang menerima food delivery. Gema pengumuman dibatalkannya rapat darurat siang tadi tak henti menghantui isi kepala Amaya yang semakin jengkel. Sebab, ia baru saja akan melepas penat ketika rapat darurat mendadak diadakan. Terlebih lagi, ia sedang bekerja di lapangan yang cukup jauh dari gedung perusahaan tanpa kendaraan, belum sempat menikmati makan siang, dan sesampainya di kantor ia mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Amaya mendongak menatap langit saat setetes air jatuh mengenai layar ponselnya. Awan-awan yang menggantung berkerumun telah menyatu dan berona abu. Sang surya yang menyeringai panas, kini bersembunyi dibalik awan. Daun-daun gugur menderai terbawa angin yang berembus kencang, menutupi bangku halte di bibir jalan. Amaya segera pergi ke halte tersebut untuk berteduh sebelum hujan membasahi setelan jasnya.
Badan mungil itu terasa dingin. Suhu yang tercatat di ponselnya menunjukkan angka 23°C. Air-air turun sangat ganas, genangan sudah memenuhi lubang-lubang jalanan dalam sekejap. Nahasnya, jas berwarna serupa awan miliknya ikut basah tersiram air yang dicipratkan mobil dari arah barat. Amaya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah, wajahnya kian merengus masam, seakan semesta sedang menguji kesabarannya. Sembari mengelap bagian yang basah, tiba-tiba seorang laki-laki yang mengalihfungsikan jaket menjadi payung ikut berteduh di sebelah Amaya. Bajunya hampir basah kuyup setelah menerjang hujan.
“Permisi nona, bolehkah saya berteduh di sini bersama nona?” Tanya pemuda yang ditebak berusia kepala dua itu, membuyarkan lamunan Amaya tentang kesialannya hari ini.
“Boleh saja, tuan.” Amaya bergeser sedikit ke kanan, memberikan isyarat kepada laki-laki berpostur tinggi tersebut agar berteduh di sebelahnya.
Amaya kembali memandang jalan. Perasaannya mengatakan bahwa hujan akan turun sangat lama. “Hujannya tetap deras,” ujar Amaya, membuka pembicaraan setelah hening beberapa menit di antara keduanya.
“Iya, tetapi sepertinya tidak akan lama,” balas laki-laki itu ramah. Menampilkan gigi-gigi berderet rapi membentuk senyuman hangat. Terasa kurang cocok bila dibandingkan dengan suaranya yang mendominasi berat. Sedangkan, dahi Amaya mengerut heran. Itu bukan jawaban yang ia pikirkan, sebab sekarang hujan turun terlalu lebat.
Benar saja, gaduh air yang mengalir ke atap halte terdengar menggerutu. Langit seakan sedang sangat bersedih. Entah karena ditinggal kemarau atau karena alasan lain. Beginilah saat hujan turun mengguyur, Amaya kesulitan melakukan pekerjaannya. Ia beberapa kali menerima pesan yang menanyakan keberadaannya, namun apalah daya bila sekarang ia tidak bisa ke mana-mana dan menjadi tahanan yang dikurung dalam rinai air yang diuapkan matahari. Di sela-sela itu, Amaya dan pemuda berparas tegas tersebut berbincang-bincang selayaknya orang yang baru saja berkenalan. Dia bercerita tentang kesibukan yang sedang ia lakukan. Amaya pun demikian, ia menceritakan sedikit tentang pekerjaannya menjadi manajer.
Sejeda, si lawan bicara menanyakan sebuah pertanyaan yang juga terpikirkan oleh Amaya beberapa waktu lalu. “Nona masih bingung saat saya mengatakan hujan tidak akan turun lama, ya?” laki-laki tersebut menoleh sembari melontarkan sederet kalimat tanya.
“Tentu, padahal sudah jelas hujan sederas ini,” ucap Amaya dengan raut kebingungan.
Pemuda dengan bahu lebar tersebut melipat rapi jaket denim yang ia biarkan tergeletak, kemudian ia taruh di pangkuannya. “Biasanya hujan yang turun tiba-tiba, juga akan berhenti tiba-tiba,” jelasnya. “Tapi, sebenarnya saya nggak tahu hari ini sama kayak biasanya atau nggak,” tambah laki-laki itu yang mampu menimbulkan gelak tawa pada raut pendengarnya.
“Hujan memang nggak pernah kenal waktu. Apalagi mengerti apa yang manusia lakukan di bawah halte seperti ini. Kita harus melewatkan berbagai hal sebab kehadirannya,” respons Amaya dengan keluh kesah yang masih melekat.
Sang empunya hanya mengangguk mendengar pernyataan Amaya. “Ngomong-ngomong, boleh saya tau nama Nona?” tanyanya sambil menelisik wajah kecil Amaya.
“Oh boleh, tuan. Saya Amaya Kumalasari, panggil saja Amaya,” sahut Amaya sembari membenarkan posisi duduknya yang kurang rapi.
“Nama saya Harendra Cayapata, panggil saja Haren atau Rendra,” sahutnya seraya melempar senyum yang menampakkan lesung manisnya. Lalu, bilah lisan semerah delima itu menanyakan pertanyaan lain, “jadi, Nona Amaya, bagaimana menurutmu tentang hujan?”
Netra bak biji kelengkeng milik Amaya mengarah ke kanan atas, berlagak memikirkan jawaban yang dirasa pas. “Bagiku…banyak nggak sukanya daripada suka,” ungkapnya pelan.
“Wanita sepertimu pasti kesulitan karena hujan,” timpal Haren, bermaksud menyinggung pekerjaan Amaya. “Banyak orang yang mengeluh terhadap hujan, tetapi hujan tetap akan datang. Selama itu mendatangkan kebaikan, harusnya kita bersyukur,” tuturnya, sambil memandang sendu rintik-rintik di hadapannya.
“Maksudmu pasca kemarau panjang, hujan akan sangat dinantikan kehadirannya karena bumi butuh kesejukan, begitu?” simpulan Amaya disertai nada tanya di akhir kalimatnya usai mendengar penjelasan Haren.
“Benar, nona. Hujan turun karena tahu bumi sangat membutuhkan,” imbuh Haren, sedikit menambahkan perkataan sang empunya.
Lantas, Amaya yang terpikirkan opini lain langsung menceletuk, “tapi tuan, hujan juga bisa membawa kesedihan bagi umat manusia. Ada yang kehilangan rumah, kehilangan ladang, bahkan ada yang berduka kehilangan seseorang yang mereka sayang,” sanggah Amaya dengan sedikit menggebu-gebu, ia mulai tertarik pada topik pembicaraan.
Sementara itu, Haren terlihat tak terpengaruh sedikit pun pada argumen yang dilontarkan Amaya, malahan ia tertawa kecil seakan telah mendapat jawaban atas itu. “Hujan pun bisa marah kalau manusia tidak ramah, Nona Amaya. Siapa yang membuang sampah sembarangan kalau bukan manusia? Siapa yang menumpaskan daerah resapan air untuk membangun gedung-gedung bertingkat kalau bukan manusia? Lalu, sebab siapa hujan marah kalau bukan manusia?” tutur pemuda yang menegaskan tiap-tiap kata tanpa segan.
Amaya terdiam. Ia tak menyangka penjelasan Haren akan membuatnya tak sanggup merangkai kalimat untuk membantahnya. Sudah tidak ada lagi frasa yang bisa digunakan untuk menyangkal. Isi kepalanya hanyut terbawa pertanyaan-pertanyaan sederhana yang jelas terjawab. Dirinya kalah telak dan lisannya membisu. Yang tersisa tinggal manik mata keduanya sedang memandang satu sama lain selama per sekian sekon, tatapan yang sulit diartikan.
Setelah dua puluh menit berselang, Haren dan Amaya kehabisan topik pembicaraan. Suasana kembali menjadi asing. Lantas belum sampai satu menit, tiba-tiba hujan mereda secara mendadak. Spontan mereka mendongak menatap keadaan langit. Sang surya perlahan mulai menampakkan diri dengan warna terindahnya. Membentangkan rupa secantik jingga muda dan menggantikan sendunya rona abu, dikuti awan yang bersemu merah jambu. Burung-burung mengepakkan sayapnya berbarengan, menandakan cuaca telah aman untuk pulang.
“Hujannya benar-benar berhenti tiba-tiba,” refleks Amaya, seketika teringat percakapan yang sebelumnya ia anggap sebuah candaan.
“Benar, kan? Saya nggak membual tentang hujan tidak akan lama,” ucap Haren yang tak melepaskan atensinya pada langit. “Oh iya, Amaya. Masih mau cari makan siang nggak?”
Bukan cuma hujan, kini Amaya dibuat mencerna pertanyaan Haren yang tiba-tiba. “Udah kesorean buat makan siang,” Amaya mengecek jam tangan berwarna hitam pekat di pergelangan tangannya, memastikan waktu yang tersisa sebelum kembali pada pekerjaan, “Cari camilan dekat sini aja gimana?” ajaknya santai, seakan sudah lama mengenal.
“Boleh,” Haren terenyum simpul, menyetujui.
Haren dan Amaya berjalan bersebelahan menuju ke kedai teh diseberang jalan. Sembari menikmati hangatnya teh inggris dan sandwich –dalam kemasan yang bisa dibawa pulang– pesanan Amaya, mereka tenggelam pada sebuah dialog yang hangat. Membahas apa pun yang mengalir begitu saja. Memang benar, hujan sebentar saja. Memang benar, dialog tersebut sekedar basa-basi belaka. Namun, cerita yang dibawakan hujan tidak usai begitu saja.
Kunci permainan: lingkungan
Komentar
Posting Komentar