Cermin(an)

“Lagi kesulitan merangkai kosakata?” celetuk seorang laki-laki yang kukenal lewat webinar menulis minggu lalu. Seseorang yang aku kagumi sebab tulisannya penuh sarat makna. Ia tampak anggun dengan perpaduan jaket denim dan celana jeans sesuai yang ia deskripsikan lewat chat. Di cafe dream, kami membuat janji temu untuk berbincang seputar kepenulisan. Di antara aroma kopi dan suasana yang tenang, aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Sulit banget merangkai kalimat, ya,” lanjutnya, lantaran aku hanya terdiam dari tadi.

“Iya, biasanya juga ada sedikit kendala. Tapi, yang ini enggak tahu kenapa lebih susah cari ide dari kemarin.” Aku mengatakan apa pun yang terlintas di kepala, setidaknya telah meredakan rasa penasarannya.

“Apa yang kamu lihat?” Tak berjarak lama, ia kembali bertanya.

“Tulisan,” jawabku antara ragu dan tidak paham pertanyaan yang diajukannya. 

Ia diam lima sekon, menatap tajam layar laptopku. “Ini lebih dari sekedar tulisan.”

***

“....Bermimpilah kamu setinggi-tingginya, karena saat kau terjatuh setidaknya kamu terjatuh di antara bintang-bintang.”

“Ah.. mengada-ngada. Apa hubungannya impian yang ditulis di kertas dengan terwujudnya sebuah impian?” gumam Nilam selesai menyaksikan tayangan di televisi yang menganjurkan menulis semua impian agar cepat terwujud.

Setelah meletakkan buku tebal berjudul Rumah Kaca di atas nakas, Nilam menekan tombol power pada ponsel yang tergeletak di sampingnya. Pukul dua belas lebih empat puluh menit. Lagi-lagi, tanpa disadari. Waktu berjalan sangat cepat ketika ia menulis. Mengabaikan sederet pesan dari teman-temannya yang tertebak berisi candaan receh. Gadis bersurai sebahu tersebut bangkit, meninggalkan laptopnya yang dibiarkan menyala.

Ia beralih menetapkan teleskop kesayangannya menghadap jendela kamar. Menggeser beberapa kali ke kanan kiri, demi mendapatkan spot terbaik untuk mengamati konstelasi bintang. Setelah dirasa posisi teleskopnya pas, Nilam memutar kekernya beberapa kali, disusul berucap pelan, “Memang sang bintang mau menampung jatuhku yang tidak seberapa bila dibandingkan keindahannya?”

Dalam belenggu malam yang dapat menghanyutkan siapa saja, tiba-tiba seutas tanya memecah lamunan perempuan bersurai sebahu itu. “Nilam, kok belum tidur?” Tanpa permisi, Agam membuka seperempat pintu kamar adiknya sambil mengintip ke dalam.

Yang ditanya sedikit tersentak, kemudian memutar kepalanya setengah lingkaran. “Mas Agam, ngagetin aja!” Ia mengatur nafasnya kembali. “Iya, setelah ini tidur.”

Agam menelisik sebidang ruang itu, dan netranya berhenti pada tumpukan benda di sekitar nakas. “Masih seambis itu buat mengejar mimpimu, ya?”

Alih-alih menjawab, Nilam menurunkan letak pandangnya. Bibirnya mengulum pelan sebelum akhirnya berujar, “Mas, Nilam mau menyerah aja.”

Mendengar pernyataan adiknya yang tiba-tiba, Agam terheran sekaligus mencoba untuk merespons dengan tenang. Ia tahu betul, adik kecilnya yang tengah tumbuh menjadi remaja cantik itu sangat tekun menggapai impiannya menjadi sosok penulis. “Belum ngantuk kan, mau lihat konstelasi lagi?” tawar Agam yang mencoba bersikap biasa usai pernyataan mendadak yang tak pernah ia duga. Sejeda, Nilam mengangguk setuju.

“Mas masuk, ya,” izin Agam sebelum melangkah ke kamar adiknya.

Si pemilik kamar membuka jendela yang menghubungkan balkon selebar mungkin. Skala pandang bentala kian luas memamerkan jutaan rasinya. Hawa dingin ikut menyambut lukisan sedu pada wajah manis Nilam. Selepas menduduki tempat yang pas, ia tidak bahkan berniat memanfaatkan teleskop hitam yang setia ia genggam di tangan kirinya.

“Ngga digunakan teleskopnya?” Seutas tanya memecah hening malam.

“Bintangnya muak terus-terusan aku intip dari sini,” tolak Nilam sembari menyiratkan bumbu tawa pada kalimatnya.

“Jadi...” Agam menoleh ke kanan, menggantung perkataannya. Alhasil, dua bersaudara itu saling bertatapan selama beberapa detik. “Jelaskan yang tadi,” lanjutnya.

“Oh.. pengen menyerah aja. Menulis enggak seasyik dulu,” ucap Nilam serampangan. Kepalanya kembali menunduk, terlihat tak bersemangat.

“Bohong. Orang tiap hari kamu begadang buat nulis, enggak mungkin tiba-tiba pengen berhenti. Apalagi kan impian kamu jadi penulis hebat,” timpal Agam.

“Sekarang udah beda, Mas. Rasa ambisi buat mengejar mimpiku lama-lama pudar, aku capek dan enggak tahu harus gimana lagi,” sanggah Nilam.

“Buru-buru doang, kali? Mau ke mana memangnya? Aneh, masa alasan menyerah cupu bangat. Coba cerita pelan-pelan. Gini gini mas dua tahun lebih berpengalaman daripada kamu,” ujar Agam, menyinggung tentang rentang usia keduanya.

“Malam minggu tuh temen aku pada jalan-jalan, refreshing, enggak pusing pikirin masa depan. Katanya masa depan itu seperti sepiring tempe, tak ada yang tahu. Toh, impian mereka realistis. Ada yang mau jadi guru, dokter, pengusaha, bahkan ada yang pengen jadi ibu rumah tangga aja.” Saat Nilam memulai ceritanya, Agam sedikit menahan tawa. 

“Melihat mereka yang punya planing jelas dan kelihatan berhasilnya, aku juga enggak mau kalah. Ya udah, aku agak maksa lebih ambis  dari biasanya buat selesaiin tulisan. Eh, bukannya berakhir baik tapi malah jenuh sendiri,” ungkap Nilam. Ia mendongak memperhatikan bintang-bintang, menahan bendungan tangis yang hampir pecah.

“Lam, menilai pencapaian diri dengan pencapaian orang secara sembarangan cuma nambah masalah. Jangan sekali-kali berangkat dari start orang lain, bahaya. Kalo kata orang jaman sekarang sih, “Jangan lupa ngaca!” tutur Agam berubah serius.

“Lo ngejek gua, ya?!” Seketika air mata Nilam mengering, berganti mencebik pelan. 

“Eiiitss, jangan ngambek. Maksudnya, cermin enggak pernah bohong. Saat kamu sedih, yang terpantul dari cermin ya muka sedihmu. Saat kamu bahagia, yang terpampang juga muka cantikmu. Sama kayak menulis, saat kamu menulis dengan niat bersaing sama orang lain, hasilnya kelihatan kaku dan bikin pembaca enggak nge-feel. Sedangkan saat kamu menulis dengan niat tulus dan pure dari hati ke hati, insyaallah hasilnya juga enggak mengecewakan,” papar Agam menggunakan tuturan lembut sembari menikmati langit malam.

Nilam menyimak perlahan setiap frasa yang mengudara dari mulut kakaknya. Seraya mencerna setiap kata, ia menggosok kedua lengannya sebab udara semakin dingin. Terhipnotis dengan uraian kalimat kakaknya, Nilam lalu melontarkan pertanyaan. “Definisi mimpi sendiri menurut Mas Agam gimana?”

Pemuda berkaki panjang tersebut tersenyum menampakkan dimple manisnya. “Mimpi ada dua makna, yang pertama bunga tidur, yang kedua adalah harapan. Untuk mimpi yang harapan, menurut Mas adalah sesuatu yang pas kita berjuang untuk dapat hal tersebut, harus dinikmati apa pun prosesnya, termasuk jatuh dan bangun.”

Sejenak, rungunya terkagum mendengar penjelasan Agam. “Kalo penulis, masih bisa disebut mimpi bahkan untuk orang kayak aku?”

“Mimpi memang kelihatannya mustahil, tapi bikin orang jadi optimis mengejarnya. Mimpi sebagai penulis ya realistis karena bisa aja diwujudkan, kecuali mimpi jadi Thanos, itu baru enggak realistis,” terang Agam, menambahkan perbandingan yang jelas tak berimbang.

Namun setelahnya, sesabit kurva terbit menggantikan mendung yang mendiami raut Nilam. “Kita mungkin kok jadi Thanos,” lontarnya sambil memberi lirikan mengintimidasi. “Kalo cosplay.” Gelak tawa mengakhiri percakapan sendu dua bersaudara itu.

“Wah, bisa bercanda sekarang. Moodnya udah membaik, ya?” timpal Agam, kemudian tersenyum simpul.

“Belum sepenuhnya sih, tapi lebih baik,” jawab Nilam ikut menambahkan senyum yang memperlihatkan sederet gigi depannya.

“Nice.” Agam mengacungkan kedua ibu jari beriringan. “Sekarang tidur sana. Bukan malam lagi ini, tapi udah dini hari,” tegasnya.

“Iya, iya bawel,” tangkas Nilam diikuti ekspresi jahil.

Usai Nilam menutup pintu mengantar kakaknya keluar, ia segera merapikan kekacauan bak kapal pecah akibat ulahnya sendiri. Ia meletakkan buku-buku dan laptop sesuai pada tempatnya. Dalam jalan kembali menyalakan lampu tidur, Nilam berpapasan dengan standing mirror-nya yang mampu memutar ulang perkataan Agam tadi.

Lamat-lamat ia menyusuri rimba di kepala yang berakhir menyetujui opini kakaknya. Ia menarik kedua ujung bibir berona peach-nya seraya menatap cermin. “Semoga besok lebih bahagia, selagi memangkas jarak antara aku dan mimpiku.”

***

Tatkala bel pulang menggaung di setiap ujung SMA Garda Negara, dalam jangka lima menit sudah terlihat siswa-siswi berbondong-bondong menyeberangi batas pagar sekolah. Menelisik lebih teliti dari salah satunya, perempuan berasma belakang Sandhya tersebut tidak langsung pulang. Setengah jam lagi ia ada janji temu, di cafe dream.

“Kara!” sapa Nilam sambil menepuk pundak pemuda yang menjadi tujuannya. Lantas, si pemilik nama mengucap balas berupa senyuman. Nilam duduk di kursi depannya. Ia mengeluarkan laptop lengkap dengan peralatan kepenulisan di atas meja. Manik matanya berbinar mengamati catatan outline yang telah ia susun. Pula tak terbesit sedikit pun perasaan terbebani maupun kebingungan seperti sebelumnya.

“Antusias banget kelihatannya hari ini,” komentar pemuda berasma lengkap Bagaskara Arsenio, mengingat perbedaan dari terakhir kali bersua.

“Iya dong, supaya kesampaian mimpiku,” balas Nilam bernada lebih percaya diri.

“Memang dalam fiksi karanganmu, apa yang kamu lihat?” selesai kata terakhir Kara sampai pada rungunya, Nilam mendadak terdiam. Pasalnya, sang empunya kembali menanyakan rangkaian kalimat yang jelas membingungkan Nilam waktu kemarin.

“Tulisan..” jawab Nilam semakin mengecilkan suara. Ia merenungkan banyak hal meski kornea hitam pekatnya setia menatap layar laptop.

“Mimpi yang enggak akan aku lepas, sesuatu yang sangat amat berharga, dan aku bakal terus memperjuangkannya,” final Nilam, entah secara sadar atau tidak.

“Aku yakin, setiap orang yang memutuskan serius untuk menulis pasti karyanya berharga. Karena mereka punya sesuatu yang bernilai untuk disampaikan pada para pembaca. Tetapi, yang namanya usaha pasti ada jatuh bangunnya. Jadi, percaya diri aja. Kalau capek ya istirahat, bukan menyerah. Terus, lanjut nulis lagi deh,” tutur Kara perlahan.

Nilam mulai mengerti, bahwa dari awal Kara sudah peka dengan keadaannya, sebab itu sebelumnya Kara menanyakan hal yang tidak dimengerti olehnya. Nilam mengangguk dan tersenyum simpul, lalu menambahkan, “Iya, aku setuju. Karena hasil yang kita dapat adalah wujud dari apa yang kita tanam. Bisa dibilang cerminan diri.”

Di balik secangkir kopi dan suasana yang tenang, mereka bercengkerama penuh makna dan inspirasi. Tentang mimpi, usaha, dan semangat dalam mengejar impian menjadi seorang penulis. Membiarkan kata-kata mengalir dari hati ke layar laptop dengan tulus dan penuh keyakinan. Lantas semalam, antara cermin dan bintang, di bawah langit yang tenang, Nilam kembali menemukan semangatnya untuk terus mengejar impian, seperti jatuh bangunnya bintang-bintang yang tetap bersinar di antara gelapnya malam.


Kunci permainan: Sembagi Arutala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Batu Naoma

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis