Postingan

Nyanyian Batu Naoma

Fajar di Nuhae tidak pernah tiba dengan tergesa. Kabut turun perlahan dari punggung Pegunungan Ilua, menyusup ke sela-sela pohon ampupu beserta aroma sisa abu dupa semalam. Penduduk setempat sangat menghormati batu setinggi bahu yang menyimpan ingatan leluhur. Mereka menyebutnya Naoma. Dengan merawat alam, orang-orang percaya Naoma akan menggugah petunjuk masa depan. Bagi mereka, merusak alam seperti merusak tubuh sendiri dan melindungi alam berarti melindungi nyawa sendiri. Yamae tinggal bersama neneknya, Ama Ru, di rumah gewang yang dindingnya terbuat dari pelepah, beratap daun tua, dan lantainya berderit jika diinjak. Ia terbiasa bangun melalui bunyi irisan kulit kayu di dapur atau denting alat tenun di ruang tengah. Neneknya adalah penenun paling tua yang bisa membuat motif tenunan sesuai kata semesta. Yamae sering membantu mencari pewarna alami ke hutan, meski pikirannya sering teralihkan ke Gunung Fa’anom, tempat Naoma tertua berada. Sejak kecil ia bisa mendengar bunyi dari b...

Bendera Setengah Tiang di Jantung Harapan

Aku telah mendongeng sejak tahun 1945 : 1. Menjahit Seutas benang putih tak lagi bersih Ibu jari kian tenggelam dalam saliva pedih Jiwa nyonya janda sungguh perih Dibuai perlahan setengah nyawa yang sedih Kurasa ibu menegur, “ Sudahlah, Nduk. Buat apa kau rawat dia? ” Aku mengambil jarum lagi Aku menyambung benang merah lagi Aku menjahit lagi Kurasa bapak ikut menegur, “ Yang mati biarlah, yang hidup ikhlaslah! ” Ibu jari kian menodai kesucian kain putih Biar sama-sama dalam pangkuan dia Seperti dulu, dikecup sayang nafas merah lelakinya 2. Mengibarkan Tiap lautan masih terjamah Tiap kapal-kapal masih berlayar Pelakon kulit putih masih berdagang Hatinya masih dan akan selalu tertinggal Tangan dan kaki nyonya janda nyata kuat Sedang panji perang sungguh salah kaprah Dipeluk lembut dua kain hasil jahitan Manik netra menatap ujung ke ujung sebuah tiang Tangan dan kaki nyonya janda nyata kuat Sedang bumi Maluku sungguh tak berdaya Diikatnya tali itu dengan telaten Lantas, duaja berhenti di...

Mewariskan Semur di Dalam Dapur Indis

Aku menulis resep dengan warna merah sejak abad ke-16 : 1. Semur Ayam I Negasi sengketa mengibarkan panji perang. Badai kapal bersilaju di sepanjang pelabuhan. Ayam berlemak. Kecap manis. Air. Jeruk. Bawang bombai. Jahe. Bawang goreng. Merica. Pala. Remah biskuit. Garam. Mentega atau minyak kelapa. Sekompi totok merebus prajurit Jawa hanya setengah matang, Mataram berderai-derai–dicokelatkan. Campurkan tiga sendok sekutu Belanda, lanjutkan memasak hingga matang. Rebusan itu melekatkan mayat tanpa kepala di Teluk Batavia. 2. Semur Ayam II Kuah yang mendidih juga mengentalkan Sungai Ciliwung. Ayam. Cuka. Air. Bawang bombai. Jahe. Merica. Bunga pala. Garam. Tepung atau remah biskuit. Mentega. Penggalan gersang lumbung beras dimasak terkulai secara menyuruk-nyuruk.  Tuangkan kaldu kolera yang membendung, pun turut melanda kota. 3. Semur Ayam Banten Ayam. Bawang merah. Bawang putih. Jahe. Cabai. Air asem. Air terasi. Kecap. Cuka. Kaldu. Pala mentah. Mentega atau minyak. Kebun-kebu...

Hujan Halau Mentua

  “Pengumuman untuk ruang konferensi utama, karena pertemuan presdir dengan kantor kejaksaan, rapat darurat hari ini dibatalkan. Rapat selanjutnya akan diberitahukan kembali. Sekali lagi, karena pertemuan presdir…” Amaya menguntai langkahnya pelan sambil menimang ponsel di tangan kanannya. Jemari lentik itu tengah sibuk menggulir deret restoran yang menerima food delivery. Gema pengumuman dibatalkannya rapat darurat siang tadi tak henti menghantui isi kepala Amaya yang semakin jengkel. Sebab, ia baru saja akan melepas penat ketika rapat darurat mendadak diadakan. Terlebih lagi, ia sedang bekerja di lapangan yang cukup jauh dari gedung perusahaan tanpa kendaraan, belum sempat menikmati makan siang, dan sesampainya di kantor ia mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Amaya mendongak menatap langit saat setetes air jatuh mengenai layar ponselnya. Awan-awan yang menggantung berkerumun telah menyatu dan berona abu. Sang surya yang menyeringai panas, kin...

Membumi Retorik

Matahari perlahan condong ke ufuk barat. Hawa dingin berangsur-angsur menjadi hangat. Rona abu usai bertamu, kini ranah cakrawala menjamu lembayung senja yang memanjakan kamera ponsel setiap pengunjung taman kota pada hari itu. Namun, seorang pemuda tampak tak menghiraukan keadaan. Dia berjalan merunduk. Agaknya ada suatu hal yang menggayuti pikirannya. Tangan kanannya mengayun-ayunkan tangkai payung hitam dan kadang-kadang duduk termenung di bangku kayu. Lama sekali ia berbuat demikian, sampai tak terasa kota telah berputar layaknya bianglala di pusat taman. Suara mesin berlomba-lomba memenuhi jalanan, taman kota banyak dijadikan tujuan, plastik bekas makanan dari kedai mulai berserakan meski tempat sampah sudah disediakan. Menjadi hal biasa saat penguasa malam merajai bentala. Lagi-lagi dia tak berkutik. Alis tebalnya mengerut, mencerminkan seberapa serius pikirannya beradu. Lantas, tiba-tiba dia terlonjak riang. Ia menepuk-nepuk dahinya tanda senang. “Ketemu sudah jawabannya!” katan...

Elegi Edelweiss

 Paris, 26 Juli 1906 Sera sayang, Tidak ada yang membuatku lebih bahagia daripada bertemu denganmu. Aku ingat 13 tahun yang lalu saat musim semi, Prof. Isak mengenalkanmu sebagai sarjana Fisika dalam acara jamuan teh. Kamu dengan sangat fasih berbicara tentang sains yang membuatku hatiku terkagum. Bagaimana senyum manismu ketika menemukan radium masih melekat di ingatanku. Matamu berbinar penuh bintang di malam hari sambil memandang siluet dari tabung bercahaya, yang tampak seperti lampu peri yang redup, katamu. Terimakasih sudah menepati janji untuk menghabiskan hidup berdampingan, terhipnotis oleh mimpi kemanusiaan dan mimpi ilmiah kita. Happy Anniversary, Seraphina Anke.  With love, L. Helga Jeager Bersama sepetik bunga Edelweis dari pegunungan Alpen, yang murni dan abadi. Paris, Juli 1914 “Kamu berencana melarikan diri dari kekacauan bersama semua itu?” celetuk seorang pria–bername tag ‘Prof. Isak Kiesinger’–yang memecahkan fokus Sera. Ia menyender pada gagang pintu ruang ...